Upeti Proyek

Upeti Proyek

 
KONGKALIKONG dalam proyek-proyek pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Siapa menabur, dia yang akan menuai; dalam bahasa lugas siapa yang berani memberi upeti (fee) paling tinggi kepada pejabat, dialah yang akan mendapatkan proyek pemerintah.

Tidak terlalu penting apakah proyek tersebut akan digarap sendiri atau dijual kembali kepada pihak ketiga, upeti menjadi kelaziman bahkan hukum tidak tertulis. Budaya upeti sejak lama telah berurat akar di lingkungan legislatif dan birokrasi. Di zaman Orde Baru dulu lebih dikenal dengan sebutan ten percent, tetapi saat ini persentasenya lebih tinggi dari itu.

Dalam skala nasional, para terdakwa kasus Hambalang mengungkapkan semua budaya upeti tersebut secara terbuka. Perusahaan BUMN, misalnya, wajib menyetorkan fee 15%�18% kepada anggota DPR yang mengegolkan sebuah proyek pemerintah. Upeti kepada perusahaan swasta lebih tinggi, sekitar 22%�23%. 

Dalam kasus berbeda, terpidana anggota DPR yang mengusahakan proyek di Kementerian Pendidikan Nasional terbukti meminta fee 5%�7%. Jumlah itu khusus untuk pengamanan di DPR dan tidak termasuk berbagai potongan lainnya. Lelang proyek secara elektronik hanya mempersempit celah kecurangan, tetapi belum mengubah perilaku culas.

Tradisi upeti juga sudah menjadi budaya di daerah. Bukan hal baru jika proyek pemerintah di daerah menjadi lahan garapan, mulai dari legislatif, birokrasi, dan kalangan lain yang berusaha masuk dan mencari rezeki. 

Semua kegiatan ilegal itu tidak mudah dibuktikan oleh masyarakat awam, tetapi dampaknya sangat terasa. 
Dampak paling jelas adalah jebloknya kualitas pekerjaan akibat terpangkasnya volume proyek. Proyek jalan raya yang diperkirakan bisa awet hingga dua tahun hanya bertahan satu tahun. Di beberapa lokasi, aspal jalan langsung tergerus setelah diguyur hujan. Di sejumlah daerah, gedung sekolah ambruk beberapa bulan setelah dibangun. Kondisi cuaca bisa dijadikan dalih, salah konstruksi bisa dijadikan alasan, tetapi maraknya budaya korupsi sulit terbantahkan.

Dalam kaitan itulah, kita menyambut gembira tekad Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo menolak aksi suap-menyuap dalam pelaksanaan proyek daerah. Gubernur berkomitmen membangun transparansi proyek. 

Transparansi menjadi sangat penting mengingat nilai proyek pemerintah di Lampung cukup besar. Untuk pembangunan infrastruktur saja, misalnya, Pemprov Lampung mengalokasikan anggaran perbaikan jalan sebesar Rp128 miliar dalam APBD Perubahan 2014.

Langkah awal transparansi anggaran bisa dimulai dengan meniadakan fee proyek yang berpotensi mengurangi volume pekerjaan. Langkah kedua dengan memasang plang proyek, persyaratan yang selalu diabaikan kontraktor. Berikutnya, membuka dokumen proyek kepada semua pihak yang membutuhkan, sepanjang tidak terkait dengan rahasia negara. 

Apa yang terjadi selama ini, pihak eksekutif dan legislatif berusaha menyembunyikan dokumen proyek dan menganggap seperti rahasia negara. Padahal, seluruh proyek pemerintah berada di wilayah publik dan berhak diketahui publik. Proyek pemerintah tidak termasuk wilayah privat pejabat tertentu. Transparansi proyek harus dimulai dari kesadaran bahwa seluruh anggaran pemerintah dibiayai rakyat. (n)

Menyambut Bandara Impian

Menyambut Bandara Impian


PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Lampung memberi kabar gembira. Pertemuan Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo dan Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan di Padang, akhir Agustus lalu, menghasilkan rencana percepatan pengalihan pengelolaan Bandara Radin Inten II dari Kementerian Perhubungan kepada PT Angkasa Pura II.

Pengalihan ini sebenarnya bukan kabar baru. Sejak 2010, Angkasa Pura II telah menjajaki potensi dan berencana mengambil alih pengelolaan Bandara Radin Inten II jika menguntungkan dari sisi bisnis. Namun, pengalihan tak juga terealisasi.

Harapan besar patut digantungkan masyarakat di pundak Angkasa Pura II jika nanti jadi mengelola bandara. Pasalnya, perusahaan pelat merah itu sukses menyulap 12 bandara utama di wilayah barat Tanah Air menjadi lebih baik, bahkan sebagian besar kini berstatus bandara internasional.

Terlebih, saat ini kondisi Bandara Radin Inten II masih jauh dari harapan meskipun perbaikan terus dilakukan. Contoh kecilnya, lahan parkir yang minim sehingga banyak kendaraan penjemput harus parkir di pinggir jalan di luar bandara.

Tak hanya itu, banyak juga travel dan taksi yang parkir sembarangan sambil menunggu penumpang sehingga menambah kesemrawutan bandara, sedangkan ruang tunggu kini relatif baik karena terus diperluas.

Selama ini peningkatan kualitas bandara, mulai dari perluasan ruang tunggu, penambahan lahan parkir, hingga yang menunjang penerbangan, misalnya perpanjangan dan pengerasan landasan pacu bak balita yang baru belajar berjalan; setapak demi setapak dan sangat lamban.

Hal ini bisa dimaklumi karena anggaran pemerintah sangat terbatas. Anggaran kementerian harus dibagi se-Indonesia dan anggaran pemerintah daerah tentu diprioritaskan untuk program lain yang lebih mendesak.

Jika dikelola Angkasa Pura II, persoalan dana diharapkan tidak lagi menjadi kendala. Apalagi, dari sisi bisnis, Bandara Radin Inten II cukup menjanjikan untuk Angkasa Pura II.

Jumlah penumpang sejak 2010 hingga 2013 naik signifikan dari 732.135 orang menjadi 1.190.337. Belum lagi hasil bumi Lampung banyak dikirim ke Pulau Jawa bahkan diekspor sehingga berpotensi mendatangkan keuntungan dari kargo pesawat.

Untuk itu, Pemprov Lampung harus mengejar janji Menteri dan merealisasikannya menjadi nyata. Lengkapi berbagai persyaratan dan lakukan pendekatan seintens mungkin dengan Kementerian Perhubungan.
Wakil rakyat yang baru dilantik juga harus menangkap ini sebagai PR di awal jabatan. Lobi politik di tingkat daerah maupun pusat rasanya sah-sah saja demi meningkatkan pembangunan di daerah.

Kalau pengalihan pengelolaan bandara terealisasi dan Angkasa Pura II berhasil menjadikan Bandara Radin Inten II sebagai bandara internasional, ini bisa menjadi prestasi awal bagi Ridho maupun para wakil rakyat Lampung.

Masyarakat pun bakal bersiap menyambut impian memiliki bandara yang lebih baik dan pelayanannya bisa dibanggakan. Namun, jika tidak, masyarakat lagi-lagi harus kecewa dan menyakini bahwa bandara internasional di Lampung hanya sebatas angan-angan. (n)

sumber :https://goo.gl/h77yr8

Jalan Rusak dan Kemiskinan

Jalan Rusak dan Kemiskinan


KONDISI jalan raya dan kemiskinan berhubungan teramat erat. Angka kemiskinan yang tinggi terdapat di daerah yang kondisi jalan raya rusak parah. Kemiskinan yang ada di Lampung juga berkaitan dengan kondisi jalan raya yang rusak.

Provinsi Lampung berada di urutan ketiga termiskin di Pulau Sumatera setelah Aceh dan Bengkulu, sedangkan secara nasional Lampung berada pada urutan ke-10. Gubernur Provinsi Lampung Ridho Ficardo telah menargetkan Lampung berada di urutan ke-5 nasional.

Target yang dicanangkan Gubernur Ridho tidaklah berlebihan. Ia menjadikan pembangunan infrastruktur jalan menjadi prioritas utama. Meskipun demikian, Ridho menyadari dana yang ada tidak cukup sehingga ditempuh cara lain.

Salah satu cara yang ditempuh ialah menaikkan status jalan provinsi menjadi jalan nasional. Jalan nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum
.
Sejauh ini Kementerian Pekerjaan Umum setuju untuk mengambil alih pengelolaan dua ruas jalan di Provinsi Lampung. Perubahan status jalan provinsi menjadi jalan nasional yakni pada ruas Way Galih (Lampung Selatan) hingga Sribhawono (Lampung Timur) dan Simpang Penawar hingga Rawajitu (Tulangbawang).

Panjang jalan nasional di Lampung 1.159,57 km, sedangkan jalan provinsi sepanjang 1.702,81 km. Berdasarkan evaluasi, 95,94% (1.112,47 km) ruas jalan nasional berada dalam kondisi baik.

Kondisi jalan nasional itu berbanding terbalik dengan kondisi jalan provinsi. Berdasarkan evaluasi pada Juni 2013, kondisi jalan yang baik pada ruas jalan provinsi hanya sepanjang 61,75% (1.051,52 km). Kondisi jalan kabupaten tentu lebih memprihatinkan lagi, hampir 80% dalam kondisi rusak.
Kerusakan jalan tidak saja menimbulkan persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan-persoalan sosial. Angka kecelakaan lalu lintas meningkat, demikian juga kriminalitas begal merajalela, terutama di ruas jalan yang rusak.
Posisi Lampung sebagai muara alur transportasi darat Jawa-Sumatera tentu berdampak pada beban transportasi jalan di Lampung jauh lebih tinggi dibanding dengan provinsi lain di Sumatera. Karena itu, kita mendukung sepenuhnya keinginan Kepala Dinas Bina Marga Lampung Budhi Darmawan yang mengusulkan 22 jalan provinsi untuk menjadi jalan nasional.

Jika jalan provinsi sudah naik kelas menjadi jalan nasional, Pemerintah Provinsi Lampung bisa berkonsentrasi membangun jalan perdesaan. Pembangunan jalan perdesaan harus menjadi prioritas karena penduduk miskin terkonsentrasi di perdesaan dengan tingkat kemiskinan sebesar 15,62% atau 911,53 ribu jiwa.

Memberi dan melayani yang diusung Gubernur Ridho harus dirasakan penduduk termiskin sekalipun. Membangun jalan di perdesaan sebagai cara cerdas memberantas kemiskinan. (n)

sumber :https://goo.gl/iKDu3a

Integritas Wakil Rakyat

Integritas Wakil Rakyat


PENYELENGGARAAN Pemilu Legislatif 2014 untuk Provinsi Lampung mencapai puncaknya, kemarin. Sebanyak 84 calon anggota legislatif (caleg) dari 10 partai politik dilantik sebagai anggota DPRD Lampung periode 2014�2019.

Seharusnya ada 85 orang yang dilantik, satu caleg dari Partai Golkar atas nama Mirzalie ditunda karena ada konflik internal di partai tersebut.

Komposisi kursi DPRD Lampung meliputi PDIP 17 kursi, Demokrat (11), Golkar (10), Gerindra (10), PKS (8), PAN (8), NasDem (8), PKB (7), PPP (4), dan Hanura (2). Dibandingkan periode 2009�2014, dalam periode ini terdapat penambahan 10 kursi, dari 75 menjadi 85 kursi.

Jika ditarik lagi ke belakang, tahapan Pemilu 2014 yang dimulai sejak pendaftaran parpol pada 10 Agustus 2012 merupakan proses panjang yang membutuhkan waktu lebih dari dua tahun. Di Lampung, 85 anggota Dewan terpilih merupakan hasil seleksi dari 889 caleg yang diajukan 12 parpol. Dari 85 anggota Dewan tersebut, 62 orang di antaranya atau 72% merupakan wajah baru.

Dilihat dari proses demokrasi pemilihan, pelantikan anggota DPRD Lampung kemarin telah mencapai puncak. Tetapi dari substansi demokrasi perwakilan, pelantikan yang menelan biaya Rp500 juta itu baru langkah awal dari kerja besar legislatif. Efektivitas tiga fungsi pokok DPRD, yakni fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan, akan diuji selama lima tahun ke depan.

Di tangan 85 anggota DPRD itu, nasib 9,8 juta penduduk Lampung dipertaruhkan. Mereka harus bisa berfungsi efektif menjadi corong rakyat supaya dapat didengar pihak eksekutif. Agar corong tersebut berfungsi dengan baik, tentu saja masing-masing anggota DPRD harus bersuara ketika ada
kepentingan sebagian rakyat yang terusik. Bukan sebaliknya, hanya berdiam diri manakala ada rakyat yang terpinggirkan.

Beberapa persoalan pokok yang membelit Lampung saat ini, antara lain kerusakan jalan di mana-mana, tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, listrik byarpet, perambahan hutan, distribusi lahan yang tidak merata, dan maraknya kriminalitas. Persoalan tersebut harus menjadi fokus pekerjaan DPRD Lampung bersama Gubernur M. Ridho Ficardo dan seluruh aparatur daerah.
Kinerja DPRD selama lima tahun ke depan akan menjadi ajang pembuktian janji yang disampaikan dalam pemilu lalu.

Jangan sampai lautan poster caleg yang mengepung fasilitas umum pada masa kampanye lalu menjadi tidak bermakna. Pengorbanan rakyat yang berangkat ke tempat pemungutan suara haruslah dibalas dengan kinerja yang nyata, yaitu pembuktian janji kampanye.

Sejak pelantikan, kita juga perlu mengingatkan agar anggota DPRD Lampung periode ini tetap menjaga amanah dan integritas. Status anggota Dewan sekaligus merupakan ujian pribadi. Tingginya penghasilan yang diperoleh dari berbagai fasilitas resmi sering membuat mereka lupa diri. Sudah sangat banyak contoh, status anggota Dewan malah menjerumuskan mereka ke penjara. Ada yang terjerat kasus narkotika, ada juga yang tersandung kasus korupsi.

Warga Lampung tidak menghendaki wakil rakyat mereka di parlemen terjerembap sebagai pesakitan. Lampung ingin memiliki anggota DPRD yang berani membela dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. (n)

sumber :https://goo.gl/ZfjjtY


PENYELENGGARAAN Pemilu Legislatif 2014 untuk Provinsi Lampung mencapai puncaknya, kemarin. Sebanyak 84 calon anggota legislatif (caleg) dari 10 partai politik dilantik sebagai anggota DPRD Lampung periode 2014�2019.

Seharusnya ada 85 orang yang dilantik, satu caleg dari Partai Golkar atas nama Mirzalie ditunda karena ada konflik internal di partai tersebut
.
Komposisi kursi DPRD Lampung meliputi PDIP 17 kursi, Demokrat (11), Golkar (10), Gerindra (10), PKS (8), PAN (8), NasDem (8), PKB (7), PPP (4), dan Hanura (2). Dibandingkan periode 2009�2014, dalam periode ini terdapat penambahan 10 kursi, dari 75 menjadi 85 kursi.

Jika ditarik lagi ke belakang, tahapan Pemilu 2014 yang dimulai sejak pendaftaran parpol pada 10 Agustus 2012 merupakan proses panjang yang membutuhkan waktu lebih dari dua tahun. Di Lampung, 85 anggota Dewan terpilih merupakan hasil seleksi dari 889 caleg yang diajukan 12 parpol. Dari 85 anggota Dewan tersebut, 62 orang di antaranya atau 72% merupakan wajah baru.

Dilihat dari proses demokrasi pemilihan, pelantikan anggota DPRD Lampung kemarin telah mencapai puncak. Tetapi dari substansi demokrasi perwakilan, pelantikan yang menelan biaya Rp500 juta itu baru langkah awal dari kerja besar legislatif. Efektivitas tiga fungsi pokok DPRD, yakni fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan, akan diuji selama lima tahun ke depan.

Di tangan 85 anggota DPRD itu, nasib 9,8 juta penduduk Lampung dipertaruhkan. Mereka harus bisa berfungsi efektif menjadi corong rakyat supaya dapat didengar pihak eksekutif. Agar corong tersebut berfungsi dengan baik, tentu saja masing-masing anggota DPRD harus bersuara ketika ada kepentingan sebagian rakyat yang terusik. Bukan sebaliknya, hanya berdiam diri manakala ada rakyat yang terpinggirkan.

Beberapa persoalan pokok yang membelit Lampung saat ini, antara lain kerusakan jalan di mana-mana, tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, listrik byarpet, perambahan hutan, distribusi lahan yang tidak merata, dan maraknya kriminalitas. Persoalan tersebut harus menjadi fokus pekerjaan DPRD Lampung bersama Gubernur M. Ridho Ficardo dan seluruh aparatur daerah.
Kinerja DPRD selama lima tahun ke depan akan menjadi ajang pembuktian janji yang disampaikan dalam pemilu lalu. Jangan sampai lautan poster caleg yang mengepung fasilitas umum pada masa kampanye lalu menjadi tidak bermakna. Pengorbanan rakyat yang berangkat ke tempat pemungutan suara haruslah dibalas dengan kinerja yang nyata, yaitu pembuktian janji kampanye.

Sejak pelantikan, kita juga perlu mengingatkan agar anggota DPRD Lampung periode ini tetap menjaga amanah dan integritas. Status anggota Dewan sekaligus merupakan ujian pribadi. Tingginya penghasilan yang diperoleh dari berbagai fasilitas resmi sering membuat mereka lupa diri. Sudah sangat banyak contoh, status anggota Dewan malah menjerumuskan mereka ke penjara. Ada yang terjerat kasus narkotika, ada juga yang tersandung kasus korupsi.

Warga Lampung tidak menghendaki wakil rakyat mereka di parlemen terjerembap sebagai pesakitan. Lampung ingin memiliki anggota DPRD yang berani membela dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. (n)

sumber :Integritas Wakil Rakyat

PENYELENGGARAAN Pemilu Legislatif 2014 untuk Provinsi Lampung mencapai puncaknya, kemarin. Sebanyak 84 calon anggota legislatif (caleg) dari 10 partai politik dilantik sebagai anggota DPRD Lampung periode 2014�2019.

Seharusnya ada 85 orang yang dilantik, satu caleg dari Partai Golkar atas nama Mirzalie ditunda karena ada konflik internal di partai tersebut.

Komposisi kursi DPRD Lampung meliputi PDIP 17 kursi, Demokrat (11), Golkar (10), Gerindra (10), PKS (8), PAN (8), NasDem (8), PKB (7), PPP (4), dan Hanura (2). Dibandingkan periode 2009�2014, dalam periode ini terdapat penambahan 10 kursi, dari 75 menjadi 85 kursi.

Jika ditarik lagi ke belakang, tahapan Pemilu 2014 yang dimulai sejak pendaftaran parpol pada 10 Agustus 2012 merupakan proses panjang yang membutuhkan waktu lebih dari dua tahun. Di Lampung, 85 anggota Dewan terpilih merupakan hasil seleksi dari 889 caleg yang diajukan 12 parpol. Dari 85 anggota Dewan tersebut, 62 orang di antaranya atau 72% merupakan wajah baru.

Dilihat dari proses demokrasi pemilihan, pelantikan anggota DPRD Lampung kemarin telah mencapai puncak. Tetapi dari substansi demokrasi perwakilan, pelantikan yang menelan biaya Rp500 juta itu baru langkah awal dari kerja besar legislatif. Efektivitas tiga fungsi pokok DPRD, yakni fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan, akan diuji selama lima tahun ke depan.

Di tangan 85 anggota DPRD itu, nasib 9,8 juta penduduk Lampung dipertaruhkan. Mereka harus bisa berfungsi efektif menjadi corong rakyat supaya dapat didengar pihak eksekutif. Agar corong tersebut berfungsi dengan baik, tentu saja masing-masing anggota DPRD harus bersuara ketika ada kepentingan sebagian rakyat yang terusik. Bukan sebaliknya, hanya berdiam diri manakala ada rakyat yang terpinggirkan.
Beberapa persoalan pokok yang membelit Lampung saat ini, antara lain kerusakan jalan di mana-mana, tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, listrik byarpet, perambahan hutan, distribusi lahan yang tidak merata, dan maraknya kriminalitas. Persoalan tersebut harus menjadi fokus pekerjaan DPRD Lampung bersama Gubernur M. Ridho Ficardo dan seluruh aparatur daerah.

Kinerja DPRD selama lima tahun ke depan akan menjadi ajang pembuktian janji yang disampaikan dalam pemilu lalu. Jangan sampai lautan poster caleg yang mengepung fasilitas umum pada masa kampanye lalu menjadi tidak bermakna. Pengorbanan rakyat yang berangkat ke tempat pemungutan suara haruslah dibalas dengan kinerja yang nyata, yaitu pembuktian janji kampanye.

Sejak pelantikan, kita juga perlu mengingatkan agar anggota DPRD Lampung periode ini tetap menjaga amanah dan integritas. Status anggota Dewan sekaligus merupakan ujian pribadi. Tingginya penghasilan yang diperoleh dari berbagai fasilitas resmi sering membuat mereka lupa diri. Sudah sangat banyak contoh, status anggota Dewan malah menjerumuskan mereka ke penjara. Ada yang terjerat kasus narkotika, ada juga yang tersandung kasus korupsi.
Warga Lampung tidak menghendaki wakil rakyat mereka di parlemen terjerembap sebagai pesakitan. Lampung ingin memiliki anggota DPRD yang berani membela dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. (n)

sumber:Integritas Wakil Rakyat

PENYELENGGARAAN Pemilu Legislatif 2014 untuk Provinsi Lampung mencapai puncaknya, kemarin. Sebanyak 84 calon anggota legislatif (caleg) dari 10 partai politik dilantik sebagai anggota DPRD Lampung periode 2014�2019.
Seharusnya ada 85 orang yang dilantik, satu caleg dari Partai Golkar atas nama Mirzalie ditunda karena ada konflik internal di partai tersebut.
Komposisi kursi DPRD Lampung meliputi PDIP 17 kursi, Demokrat (11), Golkar (10), Gerindra (10), PKS (8), PAN (8), NasDem (8), PKB (7), PPP (4), dan Hanura (2). Dibandingkan periode 2009�2014, dalam periode ini terdapat penambahan 10 kursi, dari 75 menjadi 85 kursi.

Jika ditarik lagi ke belakang, tahapan Pemilu 2014 yang dimulai sejak pendaftaran parpol pada 10 Agustus 2012 merupakan proses panjang yang membutuhkan waktu lebih dari dua tahun. Di Lampung, 85 anggota Dewan terpilih merupakan hasil seleksi dari 889 caleg yang diajukan 12 parpol. Dari 85 anggota Dewan tersebut, 62 orang di antaranya atau 72% merupakan wajah baru.

Dilihat dari proses demokrasi pemilihan, pelantikan anggota DPRD Lampung kemarin telah mencapai puncak. Tetapi dari substansi demokrasi perwakilan, pelantikan yang menelan biaya Rp500 juta itu baru langkah awal dari kerja besar legislatif. Efektivitas tiga fungsi pokok DPRD, yakni fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan, akan diuji selama lima tahun ke depan.

Di tangan 85 anggota DPRD itu, nasib 9,8 juta penduduk Lampung dipertaruhkan. Mereka harus bisa berfungsi efektif menjadi corong rakyat supaya dapat didengar pihak eksekutif. Agar corong tersebut berfungsi dengan baik, tentu saja masing-masing anggota DPRD harus bersuara ketika ada kepentingan sebagian rakyat yang terusik. Bukan sebaliknya, hanya berdiam diri manakala ada rakyat yang terpinggirkan.

Beberapa persoalan pokok yang membelit Lampung saat ini, antara lain kerusakan jalan di mana-mana, tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, listrik byarpet, perambahan hutan, distribusi lahan yang tidak merata, dan maraknya kriminalitas. Persoalan tersebut harus menjadi fokus pekerjaan DPRD Lampung bersama Gubernur M. Ridho Ficardo dan seluruh aparatur daerah.

Kinerja DPRD selama lima tahun ke depan akan menjadi ajang pembuktian janji yang disampaikan dalam pemilu lalu. Jangan sampai lautan poster caleg yang mengepung fasilitas umum pada masa kampanye lalu menjadi tidak bermakna. Pengorbanan rakyat yang berangkat ke tempat pemungutan suara haruslah dibalas dengan kinerja yang nyata, yaitu pembuktian janji kampanye.

Sejak pelantikan, kita juga perlu mengingatkan agar anggota DPRD Lampung periode ini tetap menjaga amanah dan integritas. Status anggota Dewan sekaligus merupakan ujian pribadi. Tingginya penghasilan yang diperoleh dari berbagai fasilitas resmi sering membuat mereka lupa diri. Sudah sangat banyak contoh, status anggota Dewan malah menjerumuskan mereka ke penjara. Ada yang terjerat kasus narkotika, ada juga yang tersandung kasus korupsi.

Warga Lampung tidak menghendaki wakil rakyat mereka di parlemen terjerembap sebagai pesakitan. Lampung ingin memiliki anggota DPRD yang berani membela dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. (n)

sumber :https://goo.gl/ZfjjtY

Festival Dalam Tempurung

Festival Dalam Tempurung


DINAS Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung bersama enam dinas lainnya masuk dalam kategori zona merah versi Ombudsman. Itu artinya, pemenuhan pelayanan publik di dinas tersebut sangat buruk. Di tangan dinas yang pelayanan publiknya sangat buruk itulah Festival Krakatau 2014 diselenggarakan.

Ada korelasi teramat erat antara pelaksanaan Festival Krakatau 2014 yang tanpa makna dan zona merah yang diraih Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung. Festival itu berjalan hanya sebagai ritual tahunan yang kehilangan rohnya sehingga tidak ada gaungnya.

Gaung sebuah festival bisa menembus batas ruang dan waktu di Provinsi Lampung jika dipublikasikan secara besar-besaran. Publikasikan itu tentu saja melibatkan media massa.

Pengakuan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung Herlina Warganegara sangat mengejutkan. Ia mengakui bahwa Festival Krakatau 2014 tidak melibatkan media massa karena keterbatasan biaya promosi. Menurut Herlina, promosi hanya memanfaatkan kelompok-kelompok komunitas karena tidak membutuhkan biaya alias gratis.

Keterbatasan dana mestinya bukan menjadi alasan. Seandainya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dijabat orang yang kreatif dan inovatif, promosi Festival Krakatau tidak harus menelan biaya yang sangat besar. Kata kuncinya ialah kreativitas dan inovasi, bukan uang. Sangat pantas jika dinas itu masuk zona merah karena dikelola dengan kreativitas dan inovasi seadanya.

Keunikan Festival Krakatau dibandingkan kegiatan serupa di daerah lain ialah peringatan meletus Gunung Krakatau pada 1883. Letusan itu memberi pengaruh yang begitu besar di dunia. Tujuan penyelenggaraan festival, seperti yang diungkapkan Gubernur Lampung Ridho Ficardo, ialah menarik investor. Tujuan itu tidak tercapai jika festival digelar ibarat katak dalam tempurung, tanpa diketahui dunia luar lewat publikasi yang terus-menerus.

Pembangunan dan pengembangan pariwisata di Lampung harus diletakkan dalam bingkai menggerakkan roda perekonomian yang pada gilirannya ikut menyumbang pendapatan asli daerah. Pariwisata sudah masuk dalam lingkup industri kreatif.

Industri kreatif hanya bisa berkembang jika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dipimpin orang yang kreatif dan inovatif. Menurut literatur, manfaat pembangunan industri pariwisata antara lain semakin besarnya kesempatan berusaha, terbukanya lapangan pekerjaan, meningkatnya pendapatan masyarakat dan pemerintah.

Selain itu, mendorong pembangunan daerah, melestarikan budaya dan adat istiadat, meningkatkan kecerdasan masyarakat, meningkatkan kesehatan dan kesegaran dan dapat mengurangi konflik sosial.

Ukuran keberhasilan Festival Krakatau 2014 bukan semata besar-kecilnya partisipasi rayat. Akan tetapi keberhasilan itu harus dilihat seberapa besar investor menanam modal di dunia pariwisata dan seberapa banyak kunjungan wisatawan asing domestik. Jika itu jadi alat ukur, harus jujur dikatakan bahwa Festival Krakatau masih sebatas kegiatan rutin tanpa makna.

Festival Krakatau diselenggarakan dalam tempurung sehingga Lampung gagal memanfaatkan letak geografis yang strategis karena dekat dengan Jakarta dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera. Gagal menarik investor dan meningkatkan kunjungan wisatawan. n

sumber :https://goo.gl/wW9roR