Ironi Sertifikasi Dosen



MURUAH sebuah profesi bukan semata-mata karena keberadaannya diatur dalam undang-undang. Harkat dan martabat sebuah profesi diakui publik juga karena hasil kerja mereka tidak pernah diragukan atau berintegritas.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen menempatkan tenaga pendidik di lingkungan kampus, yakni dosen, tidak hanya dipandang sebatas komunitas akademik, tetapi juga profesi yang diakui kedudukannya oleh negara.

Bahkan, undang-undang mengamanatkan negara wajib menghargai profesi mulia tersebut dengan ganjaran tunjangan profesi bagi para dosen. Tunjangan tersebut wajib negara berikan kepada mereka yang lulus sertifikasi dosen.

Tahun ini, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) menyediakan anggaran mencapai Rp3,6 miliar lebih untuk menyelenggarakan sertifikasi 4.512 dosen tahap pertama dari target 10 ribu dosen.

Namun, ironisnya, sebanyak 1.580 dosen dari sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air tidak lulus program sertifikasi dosen tahap tersebut. Lebih ironis lagi, hal itu terjadi lantaran mereka terdeteksi mencontek.

Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kemenristek Dikti menyatakan 1.580 dosen tersebut tidak lulus lantaran tidak membuat analisis kemampuan diri sesuai kenyataan alias meng-copy paste karya rekan sejawat.

Sayang, bahkan amat disayangkan, proses sertifikasi yang seharusnya menjadi sarana peningkatan mutu dosen tersebut justru ternoda akibat praktik lancung yang dilakukan para tenaga pendidik level kampus.
Perkara contek-mencontek atau plagiarisme bukanlah hal sepele. Persoalan tersebut merupakan hal amat serius dalam komunitas akademik yang menjunjung tinggi kejujuran dan menghargai hasil karya orang lain.

Bahkan, dalam lingkungan kampus, mencontek atau plagiarisme masuk kategori aib atau dosa besar. Mahasiswa tertangkap basah mencontek dalam ujian terancam hukuman berat, mulai dari skorsing hingga pembekuan nilai.

Persoalan makin berat karena dalam kasus contek-mencontek ini, pelaku bukanlah pelajar atau mahasiswa, mereka yang dalam proses belajar, melainkan para pendidik yang sepatutnya memberi teladan yang baik.

Terlebih, praktik lancung itu tak dilakukan segelintir dosen, tapi mencapai ribuan pelaku. Artinya, telah terjadi praktik ketidakjujuran yang berlangsung demikian massal dalam proses sertifikasi dosen di Indonesia.

Negara harus menyikapi persoalan ini dengan serius. Kementerian terkait harus memberi sanksi tegas untuk mereka yang terbukti mencontek. Perguruan tinggi tempat oknum dosen bernaung juga harus memberi sanksi keras.

Berdasarkan indeks inovasi dan pendidikan tinggi di dunia, Indonesia masuk jajaran kelas seperdua ke bawah. Dengan budaya mencontek massal seperti ini, tentu sulit mengangkat kualitas kampus kita pada level yang lebih tinggi. n

sumber :https://goo.gl/S6BgfDa
Previous
Next Post »
0 Komentar