Memburu Pemburu Pembalak



NEGERI ini tengah mengalami krisis keteladanan dalam hal penegakan hukum. Aparat yang seharusnya menjadi panutan justru acap tertangkap basah bermain-main di dalam gelapnya dunia kejahatan.

Medio Februari lalu, publik tersentak dengan penangkapan anggota TNI dan Polri dalam penggerebekan di kompleks Perumahan Kostrad, Jakarta Selatan. Dalam penggerebekan itu, tiga personel TNI dan lima anggota Polri diamankan karena melakukan perbuatan terlarang.

Tidak kalah menghebohkan dari pengungkapan itu adalah terungkapnya tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp17 miliar dalam jejaring bisnis narkoba di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan. Petugas LP setempat diduga kuat turut menjadi pemain dalam bisnis haram tersebut.

Contoh anyar aparat hukum membelot melawan hukum justru terjadi di Lampung. Di tengah perang melawan pembalakan liar, anggota Polres Tanggamus justru tertangkap basah dalam aksi pembalakan di wilayah Register 19 Wan Abdul Rachman, Gedongtataan, Pesawaran, Senin (8/8).

Tertangkapnya anggota Korps Bhayangkara dalam aksi kejahatan lingkungan itu tentu amat disayangkan. Terlebih, ingatan publik di Bumi Ruwa Jurai pun belumlah pudar dari kasus mutilasi anggota DPRD Kota Bandar Lampung, M Pansor, yang diketahui juga melibatkan oknum kepolisian.

Sementara, Kapolda Lampung Brigjen Ike Edwin berupaya memperbaiki citra lembaga dengan menggelar kantor di luar, operasi sepanjang massa, dan polisi ada di mana-mana.

Upaya Sang Komandan itu tidak diikuti anak buah. Fakta baru dalam kasus pembalakan di Gedongtataan sekaligus menguatkan dugaan publik sebelumnya, jika selama ini aksi kejahatan pembalakan di Lampung diduga melibatkan oknum polisi. Faktanya, pembalakan sudah luar biasa mengkhawatirkan, sementara pelakunya minim tertangkap.

Harus diingat, tingkat kerusakan hutan di provinsi ini tergolong paling parah dibanding daerah lain di Sumatera, dengan tingkat degradasi kutipan 70 persen. Pembalakan liar menjadi momok menakutkan bagi kelestarian hutan di Bumi Lada. Sebanyak 60 persen hutan rusak akibat pembalakan.

Itu mengapa luas hutan Lampung setiap tahun menyusut. Pada 1991 luas hutan di daerah ini mencapai 1,237 juta hektare lebih (37,48%), pada 1999 luas areal hutan di Lampung 1,144 juta ha (34,67%), dan tahun 2000 luas areal hutan 1,004 juta ha (30,43%).

Seperti halnya dalam kasus narkoba, keterlibatan aparat penegak hukum dalam jejaring pembalakan liar tentu amat menguntungkan sindikat kejahatan tersebut. Keberadaan oknum aparat dalam sindikat tentu amat dibutuhkan terutama menciptakan rasa aman dalam menjalankan bisnis jahat mereka.

Penangkapan aparat di Register 19 Wan Abdul Rachman tentu memiliki makna ganda. Di satu sisi hal itu perlu diapresiasi sebagai keberhasilan aparat TNI dalam menegakkan hukum. Di sisi lain justru menjadi aib lantaran aparat yang seharusnya memburu pembalak justru menjadi pesakitan.

Keterlibatan oknum aparat hukum dalam tindak kriminal, terutama sindikat kejahatan, tidak bisa ditoleransi. Siapa pun pelakunya harus dihukum seberat-beratnya, karena jelas keterlibatan mereka tidak hanya melawan hukum, tetapi juga menumbuhsuburkan kejahatan. n

sumber :https://goo.gl/ZkiqPS
Previous
Next Post »
0 Komentar