Menimbang Cukai Rokok



MESKI bukan merupakan bahan kebutuhan pokok, wacana penaikan harga rokok sudah menuai perdebatan publik. Menjadi ramai dibicarakan karena wacana kenaikannya itu tidak tanggung-tanggung, yakni lebih dari dua kali lipat atau menjadi lebih dari Rp50 ribu per bungkus.

Rencana kenaikan harga rokok dua kali lipat itu dengan pertimbangan harga rokok di bawah Rp20 ribu selama ini dinilai menjadi biang tingginya inflasi dan jumlah perokok di Tanah Air. Dengan harga murah, orang kurang mampu hingga anak-anak sekolah bisa dengan mudah membeli rokok.
Usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus merupakan hasil studi Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, bahwa ada keterkaitan erat antara harga rokok dan jumlah perokok.

Studi itu mengungkap bahwa sejumlah perokok menyatakan akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan dua kali lipat. Dari 1.000 orang yang disurvei, 72% menyatakan diri akan berhenti merokok kalau harga rokok lebih dari Rp50 ribu. Konsumsi rokok pun dapat dikendalikan.

Tahun 2014 nilai konsumsi rokok di Indonesia mencapai 2.450 miliar batang. Konsumsi rokok demikian besar menempatkan Indonesia menjadi negara pengonsumsi rokok terbesar keempat sejagat setelah Tiongkok dengan 2,57 triliun batang, Rusia 321 miliar batang, dan Amerika Serikat 281 miliar batang.

Jika dinominalkan, nilai konsumsi tersebut menembus angka fantastis. Di Lampung saja, catatan Balai Pusat Statistik (BPS) 2013, nilai konsumsi rokok mencapai Rp4,6 triliun atau setara APBD provinsi tahun anggaran 2015. Amat sayang angka luar biasa besar itu digunakan dengan tidak produktif, yakni merokok.

Namun, harus tegas kita katakan, kesehatan haruslah tetap menjadi pertimbangan utama lahirnya suatu kebijakan. Kenaikan harga rokok seharusnya menjadi momentum untuk berhenti merokok bagi perokok.

Namun, sebelum kenaikan drastis cukai rokok diberlakukan, pemerintah harus melakukan kajian serius, terutama terhadap dampak bagi mata rantai industri tembakau. Mulai petani, pekerja pabrik, pedagang, hingga konsumen terkena imbas, lantaran harga naik daya beli cenderung menurun.

Untuk itu, masalah ini perlu dikomunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang prokesehatan maupun proindustri. Kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu signifikan berdampak negatif bagi industri. Efek buruk lainnya, bakal marak peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.

Selain itu, industri rokok dipastikan akan lesu yang dampaknya pemutusan hubungan kerja massal di sektor industri ini. Jutaan orang menjadi pengangguran alias mati mata pencaharian. Belum lagi nasib petani tembakau yang tembakaunya tidak laku.

Karena itu, tarif cukai rokok sebaiknya dinaikkan bertahap sehingga tidak menimbulkan efek buruk pada kerugian ekonomi. Negara ini harus tumbuh dan berkembang dengan industri rokok. Tapi, rakyatnya juga mesti menumbuhkan kesadaran pentingnya hidup sehat tanpa rokok. n

sumber :https://goo.gl/4XU4Y6
Previous
Next Post »
0 Komentar