Rundingan Vonis Korupsi



PENEGAK hukum di Republik ini tengah berjalan mundur dalam perang melawan korupsi. Majelis Hakim kerap memvonis ringan kepada para pelaku korupsi. Fenomena itu amat tidak sepadan dengan tingkat kejahatan luar biasa yang disandang para pengisap uang rakyat.

Seperti vonis yang dijatuhi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang terhadap mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Tauhidi, Selasa (16/8/2016) lalu. Tauhidi yang juga mantan Penjabat Bupati Lampung Timur itu dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 2 bulan oleh Hakim Ketua Syamsudin.

Vonis itu lebih ringan 4 bulan dari tuntutan Jaksa Nuritias yang menuntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara untuk korupsi bernilai Rp8,9 miliar. Terdakwa Tauhidi juga hanya diwajibkan membayar denda Rp50 juta subsider 3 bulan penjara atas tindak pidananya tersebut. Vonis hakim itu tidak sesuai dengan dikorupnya uang rakyat.

Sejak awal, tuntutan jaksa yang hanya 1,5 tahun sudah membuat publik meragukan komitmen Korps Adhyaksa yang lebih garang memberantas korupsi. Karena jelas, dalam sistem peradilan pidana, hakim tidak diperkenankan memvonis lebih tinggi dari yang dituntut jaksa.

Vonis ringan Tauhidi di Pengadilan Negeri merupakan cerminan umum loyonya sistem peradilan di Tanah Air menghukum koruptor. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan vonis korupsi semester I tahun 2016 sebagian besar ringan, yaitu 1 hingga 4 tahun penjara.

ICW melansir dari total 384 terdakwa, 275 atau 71,6% divonis ringan. Sedangkan 46 terdakwa divonis bebas, 37 terdakwa divonis sedang, 7 divonis berat, dan 19 lainnya tak teridentifikasi. Parahnya, tren vonis ringan tersebut sudah terjadi dalam kurun lima tahun terakhir.

Pada 2012 pengadilan memvonis ringan 99 terdakwa, 2013 sebanyak 93 terdakwa, 2014 dengan 195 terdakwa, dan 2015 sebanyak 163 terdakwa. Sedangkan rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor pada 2013 selama 2 tahun 11 bulan. Tahun 2014 selama 2 tahun 8 bulan, tahun 2015 selama 2 tahun 2 bulan, dan semester I-2016 selama 2 tahun 1 bulan.

Harus tegas dikatakan vonis ringan itu mestinya tidak dijatuhi untuk perampok uang negara. Sudah saatnya Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung menyusun standar dan pedoman khusus bagi hakim dan jaksa dalam menangani kasus korupsi, sehingga tidak lagi loyo menuntut hingga berani mengganjar hukuman maksimal koruptor.

Kita mendorong jaksa melakukan banding ke pengadilan lebih tinggi lagi. Jika tidak, publik mencurigai jaksa ikut andil dalam proses pembobolan keuangan negara atau vonis itu sudah masuk angin. Ingat, hukuman ringan kasus pidana korupsi memajalkan efek jera bagi koruptor dan calon koruptor!

Jika bangsa ini loyo menghukum koruptor, yang timbul di kemudian hari adalah tersangka korupsi terus muncul bak jamur di musim hujan, tanpa ada rasa takut.

Sudahilah berbaik hati dengan koruptor. Kecuali sudah ada rundingan di luar pengadilan antara hakim, jaksa, dan terdakwa untuk merekayasa persidangan agar koruptor dijatuhi vonis lebih ringan. n

sumber :https://goo.gl/86P9Lz
Previous
Next Post »
0 Komentar