Mengakarrumputkan Perlindungan Anak ke RT/RW

Mengakarrumputkan Perlindungan Anak ke RT/RW
UDARA seketika terasa pengap menyusul kehebohan aksi monster pedofilia di Tangerang. Seorang oknum guru honorer memangsa secara seksual 41 siswa. Hampir menyamai oknum guru lainnya di Pulau Legundi, di tengah laut lepas Teluk Lampung, yang melecehkan lima puluhan anak didiknya. Semakin sesak dalam napas, kedua peristiwa jahat itu berdekatan dengan video mesum anak-anak yang dilakukan secara terorganisasi di Bandung.

Upaya mengarusutamakan perlindungan anak sebagai agenda nasional telah terlihat sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak pada tahun 2014 silam. Melalui inpres tersebut, seluruh kementerian dan lembaga dikerahkan untuk bekerja dalam skala besar mengatasi kejahatan seksual para pemangsa anak-anak di Indonesia.

Pekerjaan rumahnya, siapa pemangku kepentingan dan bagaimana mengakarrumputkan perlindungan anak ke segenap komponen masyarakat hingga unit terkecilnya, yakni keluarga?

Apabila Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo dijadikan sebagai pedoman, otoritas penegakan hukum berada di garda terdepan perlindungan anak. Itu merupakan konsekuensi karena berdasarkan Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental, program menjadikan rumah dan sekolah sebagai basis penciptaan lingkungan nirkekerasan dan ramah anak ditempatkan di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Meski demikian, perlu dipahami bersama bahwa perlindungan anak pada kenyataannya tidak melulu urusan menangkal predator seksual. Perlindungan anak bukan ihwal kejahatan saja. Dengan kata lain, urusan ini tidak terkunci sebagai isu politik, hukum, dan keamanan semata. Perlindungan anak meliputi masalah-masalah yang jauh lebih luas lagi, seperti akta kelahiran, pemberian imunisasi, pencegahan pernikahan dini, pertahanan menghadapi orientasi seksual menyimpang (LGBT), dan pencegahan perekrutan anak oleh kelompok kekerasan.

Persoalan Multidimensional

Perlindungan anak ialah pencurahan upaya menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk merealisasikan hak-hak anak. Menjadi jelas, dengan cakupan persoalan multidimensional seperti ini, niscaya tidak realistis bila lembaga penegakan hukum seperti kepolisian menjadi aktor tunggal. Jumlah personel kepolisian juga memberikan alasan bagi perlunya perlibatan pemangku kepentingan lain guna menyukseskan program pengakarrumputan perlindungan anak.

Gambarannya seperti ini. Sampai sekarang, unit kerja perlindungan anak di institusi Polri baru ada sampai di tingkat kabupaten/kotamadya, yaitu kepolisian resor (polres). Data laman resmi Polri, jumlah polres se-Indonesia hampir lima ratus satuan. Apabila aparat Polri di tingkat desa atau kelurahan juga dapat diandalkan untuk melaksanakan kerja perlindungan anak, per tahun 2015 terdapat 62 ribu petugas Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas).

Pada tahun yang sama, terdapat 80-an ribu desa di seluruh Indonesia. Jadi, hampir 20 ribu desa dan kelurahan di Indonesia seolah tak diamankan polisi yang seharusnya bertugas mengunjungi mereka secara berkala. Dalam rentang waktu yang sama, Profil Anak Indonesia pada 2015 menunjukkan anak Indonesia berumur 0—17 tahun mencapai 82,85 juta jiwa.

Satu personel Polri harus memantau seribuan anak ialah kerja mustahil. Sulit dibantah, terlalu berat kiranya memfungsikan personel Babinkamtibmas sebagai personel terdepan dalam perlindungan anak. Apalagi, sesuai sebutannya, keamanan dan ketertiban tidak hanya berkaitan dengan persoalan anak belaka. Dengan mempertimbangkan angka-angka di atas, diperlukan gagasan besar agar agenda pengakarrumputan perlindungan anak benar-benar dapat mengenai sasaran hingga unit keluarga.

Dibutuhkan kerja serius agar tidak ada lagi pintu-pintu yang tertutup rapat dan di dalamnya terdapat anak-anak yang teraniaya, dengan alasan anak ialah milik orang tua dan masalah anak ialah masalah domestik. Semakin mendesak kebutuhan akan unit kerja yang selalu siap sedia memantau kehidupan anak sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajiban mereka menjamin pemenuhan hak-hak anak.

Apalagi, karena kini sudah ada kartu anak Indonesia, perangkat tersebut bisa memaksimalkan sosialisasi pemanfaatan kartu itu bagi penyejahteraan anak hingga ke wilayah paling pelosok di Tanah Air. Untuk maksud tersebut, sejak sekitar lima tahun silam saya dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (yang saat itu masih bernama Komnas Perlindungan Anak) gencar berupaya meyakinkan masyarakat akan perlunya seksi-seksi/satgas perlindungan anak hingga ke tingkat rukun tetangga (RT).

Seksi/satgas perlindungan anak ini merupakan perluasan setelah sebelumnya masyarakat mempunyai seksi keamanan, seksi kebersihan, seksi kerohanian, seksi ketertiban, dan berbagai seksi urusan warga RT lainnya.

Sangat Potensial
Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7/1983, rukun tetangga merupakan perkumpulan warga yang diakui dan dibina pemerintah untuk melestarikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan, serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di desa dan kelurahan.

Saat saya menyusun tulisan ini, http://www.data.go.id sedang dalam perbaikan. Akibatnya, jumlah resmi mutakhir RT se-Indonesia belum dapat diketahui. Terlepas dari itu, di wilayah DKI Jakarta saja per tahun 2016 terdapat 30.727 unit RT. Jika itu dijadikan asumsi, di 33 provinsi se-Indonesia terdapat tak kurang dari 1.013.991 juta RT. Itu berarti terdapat seksi perlindungan anak dalam jumlah yang sama. Sementara itu, tidak ada satu pun kementerian dan lembaga dengan penetrasi sedemikian dalam ke pelosok dan berjumlah sebanyak itu!
Seksi perlindungan anak dalam jumlah sedemikian besar tentu sangat potensial untuk diandalkan. Tidak hanya dahsyat dari segi kuantitas, secara kualitas pun seksi perlindungan anak di tingkat RT itu berisi orang-orang yang diasumsikan paling mengenal masyarakat dan dinamika kemasyarakatan di wilayah mereka masing-masing.

Kedekatan antara pengurus seksi perlindungan anak dan setiap rumah juga akan mempercepat pemberian respons-respons cepat tanggap terhadap situasi berisiko bagi anak. Melalui seksi perlindungan anak di tingkat RT inilah, kiranya slogan “melindungi anak perlu orang sekampung” dapat menemukan kenyataannya. Semoga.

Gaya Kepemimpinan yang Didambakan Rakyat

Gaya Kepemimpinan yang Didambakan Rakyat

 KEPEMIMPINAN merupakan suatu instrumen yang penting dalam segala aspek kehidupan berbangsa dalam menentukan arah dan kemajuan suatu bangsa sebagaimana yang diamanatkan konstitusi suatu negara. Pencapaian tujuan suatu negara ditentukan gaya dan kualitas pribadi pemimpinnya. Seorang pemimpin diharapkan selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi negaranya. Kepemimpinan lekat dengan gaya kepemimpinan karena gaya kepemimpinan berkaitan dengan kualitas interaksi dinamis antara seorang pemimpin dan masyarakat.

Berkaitan dengan gaya kepemimpinan, seorang pemimpin bisa saja menjadi seorang otoriter. Sebaliknya, ia bisa saja menjadi seorang demokratis. Hal ini bergantung pada bagaimana seorang pemimpin memaknai nilai kepemimpinan di tengah-tengah kekuasaan, kewibawaan, dan konsistensinya. Seorang pemimpin harus dapat menerapkan nilai yang diyakini itu dalam kepemimpinannya.

Sebagai contoh, penerapan nilai kepemimpinan ketika seorang pemimpin yang takut kepada Tuhan akan berupaya melayani masyarakatnya dengan tulus dan ikhlas sehingga masyarakat akan selalu memercayai dan mematuhi segala perintah pemimpin itu tanpa syarat. Pemimpin yang melayani dapat menginspirasi masyarakatnya berpartisipasi aktif dalam segala kegiatan yang mengarah kepada pencapaian tujuan bersama.
Selain nilai kepemimpinan di atas, seorang pemimpin yang ideal juga harus memiliki etika moral yang baik dan bijaksana untuk digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan amanah kekuasaan yang diembannya. Raja Sulaiman merupakan contoh seorang pemimpin yang paling berkhidmat di bumi ini dan tidak akan pernah muncul lagi seorang raja seberkhidmat dia.

Memang, untuk mencari seorang pemimpin berkriteria seperti di atas sangat susah menemukannya. Namun, kita tidak boleh berputus asa mengupayakan agar muncul seorang pemimpin yang berkarakter unggul, berkhidmat, melayani, serta takut kepada Tuhan. Semua hal itu berguna bagi seorang pemimpin dalam mengelola dan menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi.

Semua permasalahan yang muncul masa kini semakin pelik karena dipicu percepatan revolusi teknologi informasi generasi kelima. Dampak perubahan teknologi informasi itu dahsyat karena telah banyak mengubah tatanan bermasyarakat dan bernegara yang telah mapan sebelumnya.

Pemimpin zaman turbulensi sekarang ini sudah jauh lebih sulit dalam menjalankan amanatnya sebagai pemimpin dalam suatu negara. Banyak permasalahan yang tadinya tidak pernah eksis bisa menjadi masalah sekarang ini. Suatu masalah kecil bisa saja menjadi masalah besar skalanya. Berbeda dengan pemimpin zaman sebelumnya, yakni tantangan, lingkungan, dan penanganannya juga sangat berbeda.

Gaya Presiden
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Presiden Jokowi banyak menghadapi gempuran dari berbagai aspek. Namun, Presiden dapat meredamnya dengan gaya dan pendekatan kepemimpinan yang sangat khas dan berbeda dengan presiden sebelumnya. Presiden Jokowi merupakan tipe pemimpin situasional yang mau dengan gigih membelajar dari berbagai situasi dan kondisi.

Awalnya, Presiden Jokowi terlihat terkaget-kaget dalam menangani berbagai permasalahan yang muncul. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan proses belajar yang terus-menerus, kelihatannya Presiden Jokowi telah mulai percaya diri, tenang, dan taktis dalam menangani segala tata kelola pemerintahan. Presiden Jokowi proaktif mencarikan ide kreatif dan inovatif sebagai solusi yang tepat dalam rangka perbaikan kehidupan masyarakat.

Hasil kerja keras Presiden Jokowi itu telah diapresiasi publik, terbukti dengan hasil survei Litbang Kompas 8 Oktober 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 70,8% masyarakat merasa puas dengan kinerja pemerintahan selama tiga tahun terakhir. Namun, Presiden Jokowi perlu juga mewaspadai hasil survei Median bahwa Presiden Jokowi hanya mendapatkan 36,2% suara apabila dilakukan pilpres pada tanggal 2 Oktober 2017. Namun, dia masih tetap menjadi kandidat terkuat presiden periode 2019—2024.
Presiden Jokowi tetap tegas dan konsisten dalam segala tindak dan perilakunya dalam menetapkan setiap kebijakan publik yang dibuktikan dengan berbagai keputusan. Seperti membatalkan penetapan Budi Gunawan sebagai calon kapolri, memberhentikan sementara Ketua KPK Abraham Samad, memutuskan eksekusi mati dua warga negara Australia, mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif, menenggelamkan kapal asing pencuri ikan, melakukan negosiasi dengan PT Freeport dengan tegas dan bersikap, dan tidak melakukan intervensi kasus ketua DPR,dll.
Jokowi telah menetapkan program revolusi mental, khususnya pada dunia pendidikan dalam poin ke Nawacita. Revolusi mental itu diharapkan mampu mengubah dan membenahi karakter bangsa Indonesia. Walaupun sampai saat ini revolusi mental itu belum berhasil, dengan perbaikan konsep, metode, dan pendekatan implementasi diharapkan dapat mengakselerasi pencapaian tujuan.
Revolusi mental dimulai dari pinggiran atau perdesaan sehingga dampak dan pengaruhnya akan bergulir ke area perkotaan yang secara otomatis terakumulasi menjadi kristalisasi nilai-nilai luhur sebagai karakter unggul nasional. Karena itu, Jokowi diharapkan harus tetap konsisten bekerja keras, cerdas, ikhlas, dan tuntas untuk selalu berupaya mengonsolidasikan seluruh kekuatan nasional, sekaligus mampu merajut sinergisitas berbagai komponen bangsa agar tercipta tata kelola pemerintahan dalam suatu koridor visi-misi yang selaras.

Mengembalikan Politik Keadaban

Mengembalikan Politik Keadaban
WAKAPOLRI Komjen Syafruddin mengatakan Polri menaruh perhatian khusus terhadap ancaman kabar bohong atau hoaks yang beredar di Pilkada Serentak 2018. “Isu hoaks bisa terjadi. Oleh karena itu, Polri bukan hanya menyiapkan pengamanan fisik, cyber patrol kami juga sudah siapkan dan sudah operasionalkan," kata Syafruddin di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Senin (8/1).

Menurut Syafruddin, potensi hoaks di pilkada bisa mungkin dimunculkan demi menjatuhkan lawan atau kampanye hitam. Maraknya kampanye hitam tidak lepas dari maraknya politik kebencian yang dibungkus dalam baju SARA.

Isu sengaja dimainkan karena biaya politik sangat murah. Calon pemimpin tidak perlu kerja keras, tanpa perlu merumuskan agenda yang jelas untuk menuju perubahan yang lebih baik, tetapi menggunakan proganda membunuh lawan politik dengan cara sistematis meraih simpatik publik. Proganda bertujuan membohongi publik dengan menggunakan fakta dan data penuh kamuflase. Targetnya, publik tertipu agenda tersembunyi.

Sentimen SARA merusak persatuan bangsa dan menyebabkan potensi bangsa ini kehilangan masa depan karena memilih pemimpin yang tidak memiliki keutamaan publik untuk melayani rakyatnya. Penggunaan isu SARA seperti membuat agitasi yang menyulut sentimen dan sisi emosional sebagian masyarakat. Akibatnya, hasutan dan ujaran kebencian akhirnya membuat pemilih menjadi irasional.

Kampanye hitam pada dunia politik sebuah upaya terorganisasi untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih. Kampanye hitam dapat dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak, maupun internet. Ini juga termasuk situs-situs berita yang mendadak bermunculan dengan nama domain yang provokatif, tapi umumnya tidak kredibel.

Ada agenda tertentu di balik meluasnya keresahan karena sentimen dan hasutan. Harapannya, kelompok tertentu akan memetik keuntungan politik. Meski begitu, sebenarnya tidak mudah mengapitalisasi sentimen keagamaan dan etnisitas yang dipolitisasi demi keuntungan elektoral belaka. Argumentasi logisnya, karena masyarakat sebenarnya sudah sangat rasional dan cukup dewasa menyikapi hembusan SARA demi tujuan politik.

Isu SARA kembali mencuat dan menjadi instrumen partai untuk merebut simpati masyarakat di tengah situasi karut-marut politik, ekonomi, dan sosial. Ini secara tidak langsung mengafirmasi kegagalan partai melahirkan figur berkualitas. Mereka kekurangan visi dan ideologi. Defisit inilah yang membuat ruang publik menjadi korban, dimanfaatkan untuk memfasilitasi ajang kampanye hitam, dengan mengakumulasi bahasan-bahasan provokatif, tendensius, saling serang, termasuk menggunakan isu SARA. Padahal, masyarakat sudah jengah.

Berpihak pada Masyarakat
Mari sedikit menengok Pemilu 1955, yakni partai-partai bisa dikatakan cukup punya ideologi dan berpihak pada masyarakat. Ada yang memperjuangkan nasib petani, buruh, sosialis, dan orang kecil. Partai waktu itu dalam konteks untuk merebut hati rakyat dengan memperjuangkan ideologi rakyatnya.

Menurut Goode (2005), memang semestinya ruang publik linier dengan norma, ekspektasi, serta tujuan demokrasi masyarakat. Demokrasi diisi dengan keadaban dan ruang publik dipergunakan sebagai sarana membangun panggung diskursus konstruktif partai dan rakyat tentang berpolitik serta bernegara. Ini dilakukan tanpa harus menyentuh dan menyalahgunakan isu SARA.

Pada situasi pemilu pertama 1955, tidak ada isu SARA untuk menyerang lawan. Partai bicara tentang program kerja. Politik masih beradab dan beretika. Malahan ketika itu partai agama pun tidak berbicara agama. Partai Katolik, Partai Masyumi, semua berbicara tentang program. Pemilu 1955 dinilai paling demokratis karena dalam berdebat, adu program, dan perencanaan tetap menggunakan etika berpolitik. Meskipun mereka menggunakan partai agama, tetap mengedepankan politik akal sehat.

Isu SARA yang kembali muncul jelang Pilkada 2017, lebih karena tidak adanya visi-misi yang jelas peserta. Penyebab lain, tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan berbagai masalah. Akhirnya, isu SARA hanya untuk membakar emosional yang potensial melahirkan konflik.

Jika peserta pilkada percaya diri dan mempunyai program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tidak perlu menggunakan isu agama dan etnik. Penggunaan isu SARA sudah tidak mempan. Masyarakat tidak mudah lagi terprovokasi untuk ikut-ikutan merespons lemparan isu agama dan etnis.

Maka dari itu, masyarakat harus pandai-pandai menilai dan mengukur kapabilitas kandidat dari agenda perubahan yang ditawarkan serta solusi berbagai persoalan. Hindari kompetisi politik hasut-menghasut dan menyakiti. Akhirnya, bangsa ini kehilangan harapan mewujudkan keadaban politik.

Kita berharap pilkada serentak mengutamakan nilai-nilai Pancasila dengan menjaga persatuan serta mengedepan kepentingan bangsa, bukan kepentingan kekuasan. Partai politik punya tanggung jawab moral untuk menjaga persatuan bangsa dengan mengedepankan agenda serta program, bukan politik SARA menguasai ruang publik.

Bangsa membutuhkan politik akal sehat yang menjadi pemandu kehidupan publik, bukan lagi politik kebencian karena keadabaan politik dibangun oleh politik gagasan seperti apa yang diperjuangkan generasi 28 dan dilanjutkan pikiran cemerlang Soekarno dan Hatta.

Harus Jadi Agenda
Keadaban politik harusnya dijadikan agenda dalam meyakinkan pemilih dengan perubahan yang jelas dan terukur, bBukan lagi politik identitas yang hanya mengaduk emosi publik. Visi pemimpin harus jelas melayani daulat rakyat, bukan daulat uang.

Kedaulatan rakyat seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan dan visi mereka ke depan. Jika dilihat dari apa yang terjadi selama ini, kita belum menemukan calon pemimpin yang serius memperhatikan kedaulatan rakyat itu. Calon pemimpin bangsa hanya memandang dari cakrawala sempit yang hanya mementingkan golongan dan partainya sendiri.

Perlu cara pandang baru bagi calon pemimpin bangsa bahwa dengan kekuatan atau figur semata, krisis bangsa ini tidak terselesaikan. Bahwa hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri dan menegasikan kekuatan lainnya, bangsa ini akan semakin terjerumus ke jurang yang terdalam. Bangsa ini tidak membutuhkan sosok pemimpin yang kuat, tetapi pemimpin yang memiliki orientasi yang jelas, berpihak kepada rakyat dan bukan kepada pemilik modal.

Pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya ukuran sukses pemerintahan. Ukuran utamanya ialah berkurangnya jumlah orang miskin, pengangguran, kebodohan, dan kerusakan lingkungan hidup, berkurangnya korupsi, pelanggaran HAM, serta kekerasan dalam jumlah yang signifikan. Itu merupakan syarat kontrak moral terhadap siapa pun yang berani mencalonkan dirinya sebagai pemimpin bangsa.

Siapa pun sosoknya, tidak begitu penting. Yang dipentingkan ialah apakah mereka benar-benar memiliki keutamaan itu. Keutamaan pemimpin dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah dibuatnya. Sangat penting melihat kesungguhan orang yang akan menjalankan sebuah roda pemerintahan.
Keutamaan pemimpin dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah dibuatnya. Amat penting melihat kesungguhan orang yang akan menjalankan sebuah roda pemerintahan.

Masalah Demokrasi Pilgub Lampung 2018

Masalah Demokrasi Pilgub Lampung 2018
KONTESTASI calon kepala daerah Pemilihan Gubernur Lampung 2018 telah memasuki babak akhir pada Januari ini. Lampung akhirnya mendapatkan empat pasangan calon kepala daerah, sebuah jumlah yang fenomenal dilihat dari ukuran jumlah kursi yang ada serta koalisi partai politik pengusung.

Empat pasangan calon tersebut dimulai dari pasangan Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim, calon dari Partai Golkar (10 kursi), PAN (8 kusi) dan PKB (7 kursi) dengan total 25 kursi DPRD Lampung; pasangan Mustafa–Ahmad Jajuli yang diusung Partai NasDem (8 kursi), PKS (8 kursi), dan Hanura (2 kursi) dengan total 18 kursi; pasangan Herman HN–Sutono yang diusung tunggal oleh PDIP (17 kursi); dan pasangan petahana M Ridho Ficardo–Bachtiar Basri yang diusung Partai Demokrat (11 kursi), Gerindra (10 kursi), serta PPP (4 kursi) dengan total dukungan 25 kursi DPRD Provinsi Lampung.

Perang bintang terjadi dalam Pilgub Lampung kali ini jika merujuk pada posisi politik masing-masing calon. M Ridho Ficardo adalah gubernur Lampung saat ini, Herman HN adalah wali kota Bandar Lampung dua periode, Mustafa adalah bupati Lampung Tengah. Untuk posisi wakil gubernur, petahana Wakil Gubernur Bachtiar Basri kembali maju, Chusnunia merupakan bupati Lampung Timur. Posisi Arinal Junaidi dan Sutono yang merupakan mantan sekretaris Provinsi Lampung tentu saja memiliki jejaring yang luas dengan beragam masyarakat pemilih di Lampung. Tak ketinggalan Ahmad Jajuli, politikus senior PKS, anggota DPD RI dua periode.

Pertarungan pada Pilgub Lampung 2018 dengan empat pasangan calon ini nantinya berlangsung sengit, karena Lampung menjadi salah satu barometer utama dalam kontestasi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019 di Pulau Sumatera. Perebutan suara akan menjadi sangat menarik karena ada tiga kepala daerah (wali kota dan bupati) aktif di Lampung yang memperebutkan suara di wilayahnya masing-masing, yaitu Bandar Lampung, Lampung Tengah, dan Lampung Timur. Tiga daerah ini termasuk empat besar lumbung suara terbanyak di Provinsi Lampung selain Kabupaten Lampung Selatan.

Berdasarkan aturan di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, di dalam Pasal 109 Ayat (1) tertulis, “Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih”, dilanjutkan dengan Ayat (2) yang tertulis, “Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih”.

Dengan empat pasangan kandidat yang ada dan meratanya modal sosial pasangan kandidat terhadap pemilih, perebutan suara pada Pilgub Lampung 2018 akan berlangsung ketat. Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, terdapat dua masalah demokrasi dalam helatan pemilihan kepala daerah serentak jilid tiga di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung.

Pembelian Suara-Politik Uang
Menilik akan ketatnya persaingan untuk merebut hati pemilih dalam Pilgub Lampung, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, soal pembelian suara dan politik uang. Dua definisi ini sering disamakan walaupun maknanya sedikit berbeda. Politik uang lebih dikenal dalam telinga pemilih karena biasanya diidentikkan dengan pemberian uang atau barang yang sifatnya nyata dan diterima langsung manfaatnya oleh pemilih.

Pembelian suara menurut definisi dari Edward Aspinall (2015) dibedah kembali menjadi beberapa karakteristik di antaranya politik uang langsung, janji-janji proyek, penampilan dan pencitraan, dan bargaining kebijakan.
Pemilih harus berhati-hati dengan perilaku pembelian suara yang dilakukan para kandidat. Kehati-hatian pemilih juga perlu didukung penyelenggara, khususnya KPUD dan Bawaslu Provinsi Lampung beserta jajarannya, untuk memberikan sosialisasi, pendidikan politik, serta tindakan pencegahan preventif dan pengawasan berbarengan dengan masyarakat sipil di Provinsi Lampung.

Persoalan menjadi pelik tatkala praktik-praktik pembelian suara dianggap hal yang wajar bagi sebagian pemilih kita yang belum tersentuh pengetahuan kognitifnya tentang tata aturan dalam pemilihan kepala daerah. Di lain pihak, para kandidat dan juga tim kampanye beserta tim sukses juga bertindak serupa dengan mengakali peraturan atau bermain kucing-kucingan dengan pengawas dan penyelenggara dengan semboyan “asal tidak ketahuan”.

Pembelian suara dengan iming-iming uang, barang, jasa, atau janji sudah menjadi musuh demokrasi sejak lama, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Transaksional suara ini akan menurunkan derajat demokrasi, dari aspek representasi akan menurun karena kandidat merasa sudah membeli suara pemilih sehingga kandidat bisa saja merasa tidak perlu bertanggung jawab mewakili para pemilihnya. Kandidat hanya bekerja untuk dirinya atau kelompoknya.

Politik uang menyebabkan biaya pemilihan yang seringkali overbudget. Jika tidak sanggup membiayai pemilihan, kandidat mendapat bantuan dari pihak ketiga dengan harapan mendapatkan konsesi proyek saat kandidat yang didukungnya terpilih. Tatkala kandidat memutuskan untuk membiayai sendiri kampanyenya, terbuka potensi bagi dirinya untuk mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan plus bonus dengan melacurkan kewenangannya sebagai kepala daerah. Jika berkeinginan mencalonkan kembali pada periode yang kedua, praktik korupsi semakin besar dilakukan.

Kapitalisasi Politik Identitas
Jika menilik komposisi dalam calon kandidat gubernur Lampung 2018, masih sangat tampak jelas pembelahan dalam penyusunan kandidat calon, yakni antara suku Jawa dan suku Lampung. Rumus Jawa–Lampung atau Lampung-Jawa sudah menjadi pola pakem yang seolah tak tergantikan dalam era pemilihan langsung. Melihat komposisi pemilih berdasarkan data BPS Provinsi Lampung 2017, jumlah etnis Jawa adalah yang terbesar di Bumi Ruwa Jurai ini. Namun, walaupun etnis Lampung tidak menempati posisi nomor dua setelah etnis Jawa, posisinya sebagai pribumi menjadi tetap strategis dalam mendulang suara.

Walaupun Lampung tidak dalam posisi daerah rawan konflik pemilihan kepala daerah berdasarkan data dari Kepolisian RI dan Bawaslu RI tahun 2017, tetap harus menjadi fokus perhatian para penyelenggara, Kepolisian Daerah Lampung, dan masyarakat sipil untuk turut menjaga stabilitas dan beredarnya isu SARA yang akan berpotensi menuai konflik lokal.

Ketatnya persaingan antara empat pasangan calon gubernur Lampung cukup potensial untuk menciptakan gesekan politik di tingkat pendukung, simpatisan, dan pemilih fanatik (taklid). Ditambah dengan bumbu keretakan hubungan dan perang dingin antara beberapa calon gubernur Lampung yang akan bertarung esok.
Kapitalisasi politik identitas menghasilkan pemimpin yang akan menghadapi persoalan keterbelahan masyarakat dan biasanya pemulihannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Konflik horizontal berpotensi tercipta di tengah masyarakat sehingga kandidat terpilih belum tentu dapat optimal bekerja. Hal ini dikarenakan kandidat terpilih akan menghadapi gelombang oposisi masyarakat yang merasa dikalahkan dan tersakiti dalam masa pemilihan.

Semoga Lampung dapat menghasilkan pemimpin yang amanah tanpa konflik. Amin. Wallahualam bissawab.

Kota Mekah Masa Depan

Kota Mekah Masa Depan
PEKAN lalu, 26—28 Desember 2017, penulis diundang Pemerintah Arab Saudi dalam presentasi visi dan misi pembangunan dan pengembangan Kota Mekah 2030 di Jeddah. Turut diundang juga tokoh muslim dari sejumlah negara muslim. Dalam konferensi ini, dipresentasikan fasilitas dan infrastruktur yang akan dibangun di sekitar Kota Jeddah, Mekah, dan Thaif. Sebelumnya juga, penulis diundang ketika di-launching visi dan misi Kota Madinah Al-Munawwarah di masa depan.

Dalam konferensi itu, Pemerintah Arab Saudi meminta masukan kepada sejumlah negara, khususnya negara-negara muslim yang mempunyai jemaah haji dan umrah yang besar seperti Indonesia, Turki, Mesir, India, Pakistan, dan negara-negara Teluk lainnya.

Dalam perencanaan Kota Mekah masa depan akan dibangun sejumlah infrastruktur penting, antara lain pengembangan Bandara Jeddah, pembangunan bandara baru di Thaif, dan pengembangan Bandara Madinah. Yang menarik, pembangunan Bandara Internasional Thaif akan memperpendek perjalanan darat calon jemaah haji dan umrah ke Mekah. Kehadiran bandara itu sekaligus bisa memperpendek masa pelaksanaan haji yang selama ini panjang karena kesibukan Bandara Jeddah. Jumlah gateway tentu sudah lebih banyak, apalagi dengan diperluasnya Bandara Madinah.

Kota Thaif merupakan kota tua yang udaranya sangat sejuk karena berada di ketinggian. Suatu saat Nabi menjadikannya target tempat pengungsian, tetapi di dalam perjalanan, Nabi dihadang preman Thaif dan dilempari batu sampai tumit Nabi berdarah. Malaikat penjaga gunung menawarkan bantuan untuk menghancurkan kota itu, tetapi Nabi menolak dengan alasan umatnya melakukan penolakan karena mereka belum tahu siapa sesungguhnya dirinya.
Kereta-Jalur Laut
Belakangan Kota Thaif menjadi benteng pertahanan umat Islam dan hingga saat ini ditempatkan alat-alat pertahanan berat Kerajaan Saudi. Selain pembangunan bandara, kota-kota Arab Saudi juga akan dilengkapi kereta api (subway) berkecepatan tinggi (350 km/jam).

Jarak antara Kota Mekah dan Madinah dengan bus selama ini di musim haji ditempuh 7 jam—10 jam dan akan menjadi kurang 2 jam dengan kereta cepat ini. Kereta ini juga connect dengan kereta ke negara-negara lain sampai Eropa melalui Istanbul dan Afrika menyeberang ke Terusan Suez. Kereta itu bukan hanya cepat, melainkan juga sangat mewah bagaikan pesawat kelas bisnis. Keberadaan kereta cepat itu bisa mengurangi aktivitas Bandara Jeddah, Madinah, dan Thaif.

Selain bandara dan kereta, sedang dibangun pelabuhan internasional untuk menampung penumpang jemaah haji dan umrah lewat laut. Sudah terdapat persepakatan sejumlah pengusaha kapal pesiar yang dapat digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji dan umrah. Ada sejumlah negara yang dimungkinkan menggunakan transportasi laut menuju pelabuhan Kota Jeddah. Di sana dimungkinkan merapat kapal-kapal besar sejenis kapal pesiar mutakhir.

Di samping pelabuhan kapal penumpang, juga pelabuhan kontainer yang akan menampung berbagai keperluan, termasuk pasokan konsumsi calon jemaah dari berbagai negara. Diharapkan, makanan seluruh jemaah haji dan umrah disesuaikan dengan selera yang selama ini dikonsumsi di negeri masing-masing.

Kota Jeddah juga sedang dipersiapkan jalur bus eksekutif yang mewah yang berfungsi menghubungkan berbagai kota di Arab Saudi. Jalanan akan diperlebar dan bus disesuaikan dengan standar di Saudi. Bus ini juga menghubungkan bandara dengan Kota Mekah atau Madinah, terminal kereta dengan hotel-hotel tempat jemaah.

Deregulasi di kantor-kantor imigrasi dipercepat sehingga calon jemaah haji dan umrah tidak berlama-lama di bandara, pelabuhan, dan terminal. Termasuk penyederhanaan check point yang berlapis-lapis, yang juga menambah masa tinggal calon jemaah di Mekah atau di Madinah.

Keamanan dan kenyamanan jemaah haji dan umrah juga dipikirkan. Tempat-tempat ziarah akan dibangun sistem sekuriti yang lebih baik, seperti keamanan yang akan mendaki Gua Hira, Gua Tsaur, Gunung Uhud, dan pusat-pusat perbelanjaan, hiburan, dan rekreasi.

Sistem CCTV, sarana telekomunikasi, dan rambu-rambu yang akan berfungsi secara otomatis. Rumah sakit akan ditambah dan dipermodern, standardisasi hotel dan pemondokan jemaah harus sesuai dengan standar. Termasuk yang dipikirkan kekuatan jaringan listrik dan fasilitas telekomunikasi yang cukup dan mudah diakses. Penghijauan taman-taman terbuka dan kemudahan mengakses air bersih dan air minum sudah dirancang sedemikian rupa untuk memberikan kepuasan kepada jemaah. Alhamdulillah.

Antara Hawa Nafsu dan Akal

Antara Hawa Nafsu dan Akal
AWAL tahun baru Masehi masih belum bisa beranjak dari isu yang berkembang tahun sebelumnya, yaitu terdapat degradasi nilai-nilai pendidikan di masyarakat. Pergeseran nilai-nilai ini seolah-olah menggeser peran akal sebagai penilai kebaikan dalam kehidupan. Akal sepertinya sudah cenderung dikuasai hawa nafsu sehingga apa yang diinginkan hawa nafsu, akal cenderung tunduk dan patuh padanya.

Bahkan, akal dengan pemikirannya dapat membenarkan keinginan hawa nafsu yang buruk itu. Dan, itu sering kita jumpai di masyarakat yang menganggap bahwa keburukan dan kerusakan yang dipromotori oleh hawa nafsu menjadi umum dan diterima akal.

Fenomena hawa nafsu yang menguasai akal sebenarnya bukan hal yang baru. Hal ini telah berlangsung lama dan ada dari masa ke masa. Namun, yang menjadi perhatian adalah dari segi kuantitas. Jika orang-orang yang akalnya dikuasai hawa nafsu jumlahnya sedikit, akan kalah dan tersingkir. Sebaliknya, jika jumlahnya lebih banyak, orang-orang yang akalnya menguasai hawa nafsu yang akan tersingkirkan.

Maka, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah banyak perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan kebenaran akal dikarenakan nilai-nilai kebaikan yang dibentuk akal berganti dengan hal-hal buruk produk dari hawa nafsu.

Sejarah kenabian pernah dikisahkan sahabat mulia nabi Muhammad saw, yaitu Abdullah bin Mas’ud, berkata, “Kalian hidup di suatu zaman di mana kebenaran menguasai hawa nafsu dan kelak akan datang suatu zaman di mana hawa nafsu justru yang mengangkangi kebenaran”. Dari pernyataan ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada masa kenabian banyak orang yang akalnya menguasai hawa nafsu.

Kegiatan sehari-hari di masyarakat cenderung pada kebenaran dan bernilai kebaikan bagi umat karena tunduk dan patuh terhadap aturan agama. Masyarakat hidup nyaman dan damai, banyak orang yang dapat dipercaya karena memiliki akhlak yang baik karena mampu menundukkan hawa nafsunya. Aturan ditegakkan sebagaimana mestinya. Namun, bagaimana pernyataan yang selanjutnya yang merupakan prediksi sahabat Abdullah bin Mas’ud. Apakah saat inilah zaman yang diprediksi banyak orang dimana hawa nafsunya menguasai akal? Mari sama-sama kita renungkan!

Zaman saat banyak orang yang hawa nafsunya menguasai akal dapat dilihat dari tanda-tanda yang muncul. Banyak atau tidaknya orang yang menentang aturan dan lebih menuruti hawa nafsunya. Mari kita merefleksi sejenak, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Mulai dari masyarakat biasa sampai kaum pejabat dan intelektual. Apakah semakin banyak yang bertindak menentang aturan dan membuat kerusakan atau sebaliknya semakin banyak yang patuh terhadap aturan. Banyak yang mengedepankan akal atau banyak yang mengedepankan hawa nafsunya?

Perilaku Menyimpang
Contoh perilaku yang menyimpang akibat mengedepankan hawa nafsunya ketimbang akalnya sudah banyak ditemui. Baru-baru ini isu tentang LGBT yang semakin santer untuk dapat pengakuan publik semakin gencar didengungkan. Fenomena LGBT merupakan perilaku yang menyimpang dan melanggar aturan.

Kenapa demikian? Karena LGBT berdampak buruk dan membuat kerusakan yang besar dan sangat merugikan, terutama bagi generasi penerus bangsa. Perlu diketahui, tidak ada contoh kebahagiaan yang hadir dalam kasus LGBT yang dapat memberi contoh bagi yang lainnya.

Selain itu, di pemerintahan juga masih banyak dikabarkan korupsi dan korupsi. Yang pada dasarnya hanya menuruti hawa nafsunya ketimbang akalnya. Ini baru beberapa contoh besar yang berdampak buruk dan kerugian bagi publik.

Perkara mengalahkan hawa nafsu oleh akal tidaklah mudah. Perlu perjuangan dan usaha yang keras. Hawa nafsu setiap saat akan terus membisikkan kepada akal untuk patuh dan taat padanya. Hawa nafsu akan terus berusaha mengambil celah dan lalainya seseorang untuk bisa masuk dan menguasai akal. Hawa nafsu memperlihatkan keindahan-keindahan pada akal sehingga akal akan lalai dan mengikutinya
.
Akal Vs Nafsu
Hawa nafsu dan akal seperti musuh bebuyutan yang akan selalu berusaha saling menjatuhkan. Apabila manusia itu lalai, akal akan kalah dan manusia tersebut akan terjerumus pada tipu daya hawa nafsunya. Hawa nafsu dianggap sebagai kawan sehingga menuruti apa-apa yang menjadi keinginannya. Al Hakim pernah berkata, “Akal itu kawan yang sering dihindari, sementara hawa nafsu adalah musuh yang sering diikuti”.

Nasihat Al Hakim dapat memberikan penjelasan pada kita bahwa akal itu sebenarnya adalah kawan kita dan hawa nafsu itu adalah musuh kita. Akal mengajak kepada kebaikan walau berat dalam pelaksanaannya dan kadang berkonsekuensi buruk dalam dirinya. Berat rasanya karena terkadang kebenaran akal itu harus bertentangan dengan pemerintahan dan unsur lainnya.

Namun, pada dasarnya itu yang baik. Kawan yang baik tidak akan menjerumuskan kawannya yang lain pada lembah kenistaan dan menimbulkan kerugian yang besar. Berbeda dengan hawa nafsu, dengan tipu dayanya membuat indah hal-hal yang buruk, membisikkan kepada diri seseorang di sela-sela kelalaiannya, hingga orang tersebut sampai menurutinya dan menganggap hawa nafsu sebagai kawannya walaupun itu berdampak buruk.
Akhir tulisan ini, mari kita sama-sama jaga diri dan keluarga kita agar tidak terlalu berlebihan dalam mengarungi kehidupan yang semakin penuh dengan gemerlapan dan keindahan. Sebab, bisa jadi berlebih-lebihan itu akan membuka pintu hawa nafsu untuk masuk menguasai akal. Yang kemudian kita terjerumus menjadi kawan dari musuh kita yaitu hawa nafsu.

Jangan sampai kita lalai hingga menuhankan hawa nafsu yang dapat membawa dampak kerugian yang besar dan jangan sampai kita menjadi orang lalai, orang yang lebih rendah derajatnya daripada hewan, seperti yang digambarkan dalam Aluran Surah Al-A’raf Ayat 179 kerena kita menuruti hawa nafsu kita.

Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana

Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana
HUKUM selalu diidentikkan dengan aturan penguasa yang isinya berupa perintah dan larangan, padahal hukum berkaitan erat dengan masyarakat. Sesuai dengan ungkapan “ubi societas ibi ius” yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum” (Cicero 106—43 SM).

Hukum dan masyarakat adalah dua bentuk yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat membutuhkan hukum guna mempertahankan dan merawat masyarakat itu. Hukum muncul karena kehendak masyarakat itu sendiri. Hukum sudah ada dalam keluarga sebagai lingkup masyarakat terkecil seperti kewajiban orang tua menyayangi anaknya dan kewajiban anak mematuhi orang tua dan sebagainya. Di lingkup masyarakat terbesar, yaitu negara, hukum akan lebih kompleks lagi.

Apabila aturan-aturan dalam hukum tersebut tidak dipatuhi, akan dikenakan hukuman, salah satunya adalah hukuman pidana. Pidana berarti nestapa atau penderitaan yang diberikan pihak yang berwenang kepada pihak yang melanggar hukum.

Induk hukum pidana di Indonesia berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, nama aslinya adalah WVSNI (Wetboek Van Strafrecht voow Nederlandsch Indie) dan sudah berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP ini merupakan salinan dari KUHP Belanda yang berasaskan liberalis kapitalis.

Jikalau kita hitung sejak tahun 1918, umur dari KUHP yang ada saat ini hampir menyentuh satu abad. Selama ini KUHP Indonesia hanya mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan beberapa pasal, namun secara menyeluruh KUHP saat ini tidak berbeda jauh dengan KUHP yang lama.

Dengan menggunakan hukum Barat, sekalipun telah dimodifikasi, tentunya tidak sesuai dengan semangat untuk bebas dari belenggu penjajahan. Mirisnya, Belanda tidak memakai lagi KUHP ini.

Tidak Relevan

Selain itu, KUHP Indonesia yang telah berumur itu isinya kurang relevan lagi bagi kondisi masyarakat saat ini, kurangnya update menjadi sebabnya. Padahal, hukum haruslah menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat sehingga fungsi hukum pidana guna menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat tetap berjalan dengan baik
Salah satu contoh kurangnya pembaharuan materi hukum pidana ialah kasus narkoba dari seorang artis terkenal, yaitu Raffi Ahmad. Dia disinyalir telah mengonsumsi khat atau disebut juga teh Arab. Padahal, kandungan zat yang ada pada teh Arab dapat digolongkan menjadi salah satu jenis narkoba.

Hukum pidana saat itu belum memasukkan teh Arab sebagai salah satu jenis narkoba. Maka, kemudian demi hukum artis tersebut dibebaskan karena adanya asas legalitas “tidak ada tindak pidana jika belum ada undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu”. Pelajaran yang dapat dipetik ialah begitu pentingnya pembaharuan materi hukum pidana sehingga kejadian seperti ini tidak terulang.

Selain itu, kelemahan hukum pidana yang ada saat ini ialah rumusan pasal yang masih kurang jelas sehingga dapat menimbulkan multitafsir dan dapat menimbulkan celah sehingga perbuatan yang sebetulnya dapat dipidana tapi tidak dapat dipidana. Salah satunya rumusan Pasal 284 KUHP Ayat (1) tentang Perzinaan yang hanya mengancam pidana selama maksimal 9 bulan bagi laki-laki ataupun perempuan yang telah kawin karena melakukan hubungan senggama dengan orang yang bukan pasangannya.

Dalam rumusan pasal ini, pengertian zina sangat sempit sekali, hanya berlaku bagi orang-orang yang telah kawin, tidak sesuai dengan pengertian zina yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonsia (KBBI). Dalam KBBI, zina pengertiannya termasuk juga perbuatan senggama antara lelaki dan perempuan yang belum kawin. Rumusan pasal ini kemudian menjadi celah bagi pemuda-pemudi untuk melakukan zina karena memang undang-undang tidak melarang untuk itu, akibatnya ialah seks bebas merajalela. Hal ini terjadi karena sekali lagi kurangnya pembaharuan dalam hukum pidana.

Mutlak Diperbaharui

Lemahnya hukum pidana yang ada saat ini semakin diperparah dengan bobroknya moral manusia, yang mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan hukum. Hukum semakin tajam ke bawah dan tumpul ke atas, menindas dan menyengsarakan rakyat. Hukum hanyalah panggung dagelan guna memuaskan hasrat, memperjualbelikan hukum layaknya sebuah dagangan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme mendarah daging hingga menjadi budaya yang biasa untuk dilakukan bahkan mulai menjangkiti masyarakat. Kesadaran hukum semakin berkurang. Pelanggaran hukum semakin merajalela.

Maka itu, urgensi pembaharuan hukum pidana mutlak untuk dilakukan. Hukum pidana haruslah kembali ke fungsi awal, yaitu sebagai pelindung masyarakat dan juga penyelenggara tata kehidupan masyarakat. Hukum pidana harus sesuai dengan norma-norma yang ada di Pancasila dan UUD 1945. Hukum pidana harus menjamin kepastian hukum bagi semua golongan. Hukum pidana harus mengatasi segala bentuk kezaliman. 
Tidak ada kata terlambat untuk mengatasi permasalahan hukum pidana ini. Komitmen bersama antara masyarakat dan pemegang kekuasaan adalah kunci penting dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan bersama dan kepentingan hukum. Selain itu, kesadaran hukum mutlak juga untuk dipahami dan dilaksanakan dimulai dari hal terkecil. Kesemuanya hanya untuk satu tujuan, yaitu keadilan.

Memperkuat Optimisme 2018

Memperkuat Optimisme 2018
PARA investor keuangan dipastikan berharap pada 2018 mereka dapat menikmati kelanjutan kombinasi faktor penopang keuntungan investasi yang jarang terjadi seperti pada 2017. Faktor-faktor itu ialah volatilitas pasar yang ultrarendah, nilai aset keuangan spektakuler, korelasi biaya mitigasi risiko portofolio yang rendah, dan kesempatan ladang investasi baru yang menjanjikan seperti bitcoin.

Namun, tentu saja para investor semestinya juga mempertimbangkan risiko jangka panjang terkait dengan tidak adanya korelasi kinerja pasar keuangan dari fundamen ekonomi dan kualitas kebijakan publik. Ekspektasi investor begitu tinggi hingga akhir 2017, bahkan harapannya semakin meninggi menyongsong 2018.
Kenapa tidak? Sampai dengan 12 Desember 2017, pasar saham global, khususnya S&P Index, telah membukukan keuntungan investasi sekitar 20% dan ini mencatat angka tertinggi sejak GFC 2008. Ditambah dengan sesuatu yang jarang terjadi, yaitu volatilitas sangat rendah, pada 2017 S&P 500 Index mencatat kerugian harian terkecil dalam sejarah sejak transaksi pasar modal di AS sehingga para investor dapat tidur nyenyak sepanjang 2017.

Biasanya penghasilan saham yang begitu kuat ditemani harga obligasi pemerintah yang rendah—disebut korelasi negatif antara risiko dan aset yang aman. Tidak begitu fenomena yang terjadi 2017. Di tengah harga saham yang impresif, harga obligasi Pemerintah AS jangka panjang (US treasury bills) lebih tinggi awal Desember 2017 jika dibandingkan dengan harga awal 2017.
Kemudian disertai peningkatan tajam harga crypto-currency bitcoin. Dengan peningkatan harga yang mencengangkan (dari 1.000 dolar AS menjadi lebih 16 ribu dolar pada 12 Desember 2017), suatu porsi investasi yang kecil pada bitcoin menjadikan perbedaan signifikan pada portofolio investor.

Pendorong Utama
Ada lima faktor utama yang menyebabkan kinerja pasar keuangan dunia begitu tidak lazim. Pertama, adanya sinkronisasi akselerasi pertumbuhan ekonomi global yang terus menguat. Dari 10 negara dengan PDB terbesar, hanya Inggris dan India yang mesin pertumbuhannya agak tersendat. Kedelapan negara lainnya, seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan Jerman, bergerak menguat bersamaan.

Kedua, perkembangan kebijakan ekonomi AS yang lebih pro-pertumbuhan. Seperti kebijakan energi yang bertumpu penguatan eksplorasi gas shale. Reformasi perpajakan yang memungkinkan repatriasi keuntungan luar negeri perusahaan AS yang beroperasi di pasar global serta penurunan pajak perusahaan menjadi 21% dari 35% tertinggi di antara negara maju.

Ketiga, normalisasi kebijakan moneter AS yang sekarang sedang berlangsung dilakukan Fedres dengan hati-hati, terukur, dan minim guncangan sehingga pasar sangat percaya kepiawaian Fedres menentukan arah ekonomi AS ke depan, yang mengacu target inflasi sekitar 2% sebagai ancar-ancar dimulainya pengetatan kebijakan moneternya. Target inflasi itu sulit tercapai karena dunia cenderung berada pada tingkat keseimbangan harga yang rendah. Karena itu, hingga akhir 2018 dipastikan likuiditas global masih ample.
Keempat, adanya aliran dana masuk ke AS karena antisipasi kebijakan tax amnesty AS dan antisipasi penguatan ekonomi AS, sehingga produk-produk investasi pasif pun mampu menarik dana masuk ke AS besar-besaran. Diperkirakan, dana perusahaan AS yang ditempatkan di luar negeri sekitar 2,5 triliun dolar telah mulai masuk ke pasar keuangan AS yang akan mendorong laju investasi di AS sehingga AS mengalami pemulihan pertumbuhan ekonomi aktual maupun potensial mereka.

Kelima, injeksi likuiditas secara masif yang dilakukan ketiga raksasa bank sentral dunia—The Bank of Japan (BOJ), The European Central Bank (ECB), The People's Bank of China (PBOC)—yang secara bersama-sama dengan neraca perusahaan global yang kelebihan likuiditas telah berkontribusi membantu menurunkan biaya dana yang signifikan pada rumah tangga dan perusahaan yang membutuhkan pendanaan.
Karena mesin ekonomi global masih di bawah utilisasinya, injeksi dana itu sangat berdampak positif pada perekonomian global dan tidak menyebabkan ekonomi overheating, tecermin dari laju inflasi yang cenderung melemah belum mampu menyentuh target maksimal 2% di negara-negara maju itu. Kecenderungan inflasi yang rendah itu juga disebabkan lemahnya kenaikan upah akibat kompetisi global di produk manufaktur yang sangat ketat setelah masuknya Tiongkok dalam perekonomian global.

Risiko yang Membayangi

Namun, perkembangan yang menggembirakan itu disertai berita kurang menggembirakan. Tanpa perbaikan dan inovasi kebijakan serta kinerja ekonomi yang berkelanjutan, faktor-faktor yang telah mendorong euforia investor selama 2017 berisiko menciptakan pembalikan keuntungan berubah menjadi kerugian.

Kinerja perekonomian dan pasar uang global 2017 yang sangat kuat itu secara tidak langsung meminjam keuntungan investasi dari masa-masa yang akan datang. Terkait dengan mitigasi risiko portofolio, peningkatan harga obligasi pemerintah hanya menyisakan sedikit ruang bagi aset yang aman secara tradisional ini untuk mengompensasi kemungkinan penurunan harga saham.

Jika kita mencermati fenomena itu, adanya persistensi volatilitas yang rendah mengakibatkan suatu perdagangan aset semakin jenuh yang secara teknis semakin rentan terhadap kejutan yang terjadi di masa depan.

Langkah yang Diambil
Lantas, apa yang benar-benar investor harapkan untuk 2018 ini? Secara umum, prioritas utamanya, penguatan fundamen ekonomi dan kebijakannya sampai pada tingkat yang menjamin kenaikan harga aset yang berkelanjutan. Sambil meletakkan fondasi yang semakin kuat agar keuntungan investasi semakin baik sepanjang waktu.

Untuk mencapai kondisi itu, di AS kebijakan yang proekspansi pertumbuhan sebagaimana yang baru-baru ini dideklarasikan Presiden Trump harus mencakup rencana peningkatan investasi infrastruktur selain deregulasi dan kebijakan perpajakan.

Uni Eropa juga harus fokus pada kebijakan pro-pertumbuhan pada tingkat nasional sembari memperkuat upaya penguatan ekonomi regional, yang difasilitasi reformasi kebangkitan kembali kepemimpinan Prancis dan Jerman, serta proses Brexit yang relatif tertata dan mulus.

Akhirnya, untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi global yang stabil, semua bank sentral utama dunia—The Fed, The BOJ, The ECB, dan The PBOC—harus terus melakukan koordinasi strategi, dengan target memastikan stance kebijakan moneter semakin konsisten. Hanya dengan upaya-upaya di atas secara optimal dan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi yang sekarang menguat mampu menumbuhkan akar struktural yang kuat sebagai fondasi akselerasi ekonomi mendatang.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi global semakin tahan lama, seimbang, dan inklusif dalam rentang jangka menengah. Namun, itu semua dibarengi situasi yang semakin kritis terkait dengan risiko geopolitik, ketidakpastian produktivitas, upah, dan dinamika inflasi.

Kalau upaya, strategi, dan konsistensi pemulihan ekonomi dapat dipertahankan seperti yang terjadi pada 2017, ekonomi global baik di negara maju maupun di emerging economies semakin memberikan kemakmuran sebagaimana diharapkan para investor dan juga semua penduduk dunia.

Ambiguitas Politik Baliho

Ambiguitas Politik Baliho
TENTU saja, bagi calon bupati, wali kota, gubernur, atau anggota Dewan, ada banyak cara untuk mempromosikan dirinya agar dikenal khalayak, salah satunya lewat baliho. Karena itu, menjelang musim pemilihan kepala daerah, di sepanjang jalan dan ruang publik kita temukan baliho dan spanduk itu.
Bahkan, tempo hari saya ke luar daerah, ternyata jalan ke kuburan pun masih sempat dikepung wajah-wajah calon kepala daerah. Tentu mereka paham jenazah tidak mungkin masuk ke TPS, tetapi minimal harapan mereka para pengantarnya sepulang dari kuburan masih terpatri dalam ingatan mereka tentang foto-foto itu.
Sejauh mata memandang, sejauh itu pula kita melihat banyak wajah yang memimpikan sekali tampuk kekuasaan dan memohon belas kasihan suara massa. Kebanyakan dari bahasa tubuh dengan sorot mata yang khas tampak sekali keinginan kuat untuk merebut dan bagi petahana mempertahankan kursi kekuasaan atau terwariskan kepada istrinya.

Apalagi, ditambah kata-kata yang kebanyakan nyaris tidak kreatif, klise, dan bombastis. Biasanya yang pintar bikin kata-kata ialah para penyair. Sayang, kebanyakan dari mereka tidak punya buncahan libido memburu kursi, bahkan cenderung memunggungi kekuasaan. Dalam konteks ini, tidak berlaku sama sekali sabda Nabi yang meneguhkan bahwa kekuasaan jangan diberikan kepada mereka yang memintanya karena dipastikan akan berkhianat.

Mungkin sabda Nabi dan petuah moral semacam itu cukup sebatas mimbar Jumat atau khotbah di gereja. Di banyak baliho tidak sedikit gambar itu disandingkan dengan ketua umum partainya dan atau tokoh yang dipandang punya karisma untuk memengaruhi pikiran rakyat. Ini bukan hanya persoalan absennya kepercayaan diri, melainkan semacam siasat ngalap berkah kepada sosok yang punya kekuatan dan bisa menghidupkan mesin partai.

Ternyata, keberkahan tidak saja berlaku di dunia tarekat, tapi justru di semesta yang paling profan, politik. Cium-mencium tangan bukan saja saya temukan ketika murid/ikhwan bertemu dengan mursyidnya, melainkan juga saat kader partai berjumpa dengan ketua partainya. Tawasul itu yang sangat konkret dan kita tidak pernah menyebutnya perilaku bidah malah terjadi ketika seseorang ingin dipertemukan dengan sosok-sosok yang dianggap the king makers dalam penentuan kekuasaan.

Mendatangi Pesantren

Ternyata tidak cukup sebatas itu. Untuk meraih suara sebanyak-banyaknya (keinginannya satu putaran), dikunjunginya para tokoh masyarakat baik tokoh adat, ketua perserikatan, suhu paguyuban, ketua kopertais/kopertis, penyanyi terkenal, dai kondang, preman pasar, jeger terminal, atau siapa pun juga.
Tentu tidak mungkin sowan sambil tidak membawa apa-apa. Ada sesuatu yang harus dibawa sebagai oleh-oleh yang dapat menjadi daya pengingat dan hubungan itu terus permanen sampai ke bilik suara, tidak terkecuali para kiai di pesantren. Mereka dianggap sosok yang punya pengaruh besar terhadap santri dan jaringan alumni mereka yang tersebar di banyak tempat.

Bukan hanya NKRI yang harga mati, melainkan juga pesantren dan kiainya harga mati yang niscaya disinggahi dalam setiap ritual pilkada. Apalagi, dalam sejarah politik Nusantara, kiai ialah figur yang punya kemampuan menjembatani kepentingan vertikal kekuasaan dengan persoalan horizontal kemasyarakatan.
Kiai tidak saja menjadi konsultan keagamaan masyarakat setempat, tapi juga penerjemah fasih persoalan sosial, kebudayaan termasuk politik warga. Kepada kiai dimintakan pendapat mulai dari masa depan karier politik sampai urusan jodoh dan doa agar harmoni ketika mengambil pilihan untuk poligami.

Karena itu, dahulu sosok kiai sangat ditakuti kaum kolonial karena dianggap dan terbukti mampu menggerakkan masyarakat sekitar untuk melakukan perlawanan kepada mereka dengan solid dan padu. Salah satu kelebihan (sekaligus kekurangan) para kiai melakukan semua tindakan politiknya itu dengan menggunakan tema-tema keagamaan. Sebut saja misalnya jihad fi sabilillah, demi tegaknya syariat Islam, amar makruf nahi mungkar, tersalurkannya aspirasi umat Islam.

Kata Ibnu Khaldun, sosiolog kelahiran Andalusia, tidak ada yang paling mampu memobilisasi massa kecuali dengan mengerahkan sentimen keagamaan, bahkan tidak sedikit orang rela mempertaruhkan nyawanya atas nama keyakinan agamanya. Kalau ada orang menyimpulkan dunia pesantren lekat dengan urusan akhirat dan kiai hanya melulu berbicara ibadah, bukan hanya keliru, melainkan juga menunjukkan secara telanjang kepandirannya. Itulah yang dahulu dibilang almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pesantren sebagai subkultur. Pesantren sebagai agen kebudayaan. Di tangan kiai—meminjam istilah Van Peursen—yang mistik dan teknik dipadupadankan.

Sebuah Usaha
Tentu tidak ada yang salah dengan kunjungan langsung atau lewat baliho itu. Namanya saja usaha dan atau niatkan saja sebagai bentuk silaturahmi dari calon pemimpin dengan warganya. Persoalan kelak setelah terpilih warga tidak lagi disapa, ini hal lain. Di negara kita, politik sering dimaknai sebagai urusan lima tahunan, bukan persoalan harian.

Karena itu, jangan heran kalau demokratis yang dirayakan baru sebatas elektoral-prosedural, belum menyentuh sisi substansialnya. Yang terakhir inilah yang salah. Demokrasi sebatas sejauh mana kita menggunakan hak pilih. Selesai kartu suara itu dimasukkan, politik berhenti di kotak suara. Terkunci di sana. Nyaris selama kekuasaan berjalan sepanjang lima tahun tidak ada kontrol dan akuntabilitas memadai dari yang terpilih dan warga tampaknya juga adem ayem dengan kepala daerah dan anggota Dewan pilihannya.


Coba simak, misalnya, tidak sedikit janji kepala daerah misalnya saat kampanye yang belum ditunaikan, tapi kepala daerah itu tidak merasa terbebani dengan seluruh janjinya itu, apalagi juga segenap warga tidak ada yang mempertanyakannya. Warga nyaris menjadi pihak yang pasif dan segala urusan yang menyangkut dirinya tidak pernah dikaitkan dengan kebijakan pemerintah.

Atau mungkin janji dalam konteks politik di negara berkembang seperti kita ialah sesuatu yang sejak dalam pikiran tidak harus ditunaikan. Janji ialah ucapan verbal sebagai gula-gula untuk memikat massa dan sama sekali tidak ada hubungan simbolisnya dengan upaya merealisasikannya. Janji menjadi semacam komunikasi yang tidak mengandung pesan apa-apa kecuali sekadar dusta. Keterampilan menyuarakan kebohongan seolah kebenaran.

Pilkada dan Negeri Para Komedian

Pilkada dan Negeri Para Komedian
TAHUN 2018, Indonesia punya perhelatan besar, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Pilkada itu akan melibatkan 17 pemilihan gubernur, 115 pemilihan bupati, dan 39 pemilihan wali kota. Meski sebuah rutinitas, pilkada kali ini tetap menarik tidak saja karena pertama kali serentak dilakukan, tetapi juga lantaran setiap era pemilihan mempunyai keunikan sendiri-sendiri.

Berbagai cara pun telah dan akan dilakukan kandidat agar dipilih masyarakat luas. Namun, semua kandidat cenderung berorientasi pada cara bagaimana mereka dikenal, bukan pada apakah yang dilakukannya benar sesuatu aturan, etis atau tidak. Jika cara-cara pengenalan kandidat itu tidak ada aturan, saya yakin pelanggaran demi pelanggaran kian tumbuh subur. Ada aturan saja dilanggar, apalagi jika tidak ada aturan.

Artikel ini tidak akan masuk dalam wilayah apakah yang dilakukan para kandidat itu melanggar aturan atau tidak karena itu masuk wilayah hukum. Tulisan ini akan menyoroti proses komunikasi politik yang dilakukan para kandidat, baik melalui baliho, spanduk, iklan, pernyataan, ataupun media komunikasi lain yang digunakan untuk mengenalkan mereka. Ini sangat penting dianalisis agar masyarakat tidak terbuai dengan sesuatu yang tampak, apalagi memang pilkada itu sarat kepentingan.

Inti Komunikasi
Selama ini ada salah kaprah (misperception) yang diyakini kebenarannya. Salah kaprah ini telah membuat seseorang sering salah memahami inti komunikasi yang dilakukan orang lain. Akibatnya, inti pesan sesungguhnya tidak bisa dipahami dengan benar dan buntutnya tidak memahami konteks sebenarnya dari sebuah pesan yang disampaikan.

Salah kaprah itu di antaranya seseorang percaya begitu saja terhadap apa yang dikatakan secara lisan pada orang lain. Begitu juga, orang percaya dengan informasi yang ada pada iklan dan media luar ruangan. Jika itu menyangkut persoalan politik, memahami informasi di balik sesuatu yang tampak tersebut sangat penting dilakukan.

Dengan demikian, pesan sesungguhnya juga ada pada sesuatu yang tidak dikatakan. Jika seseorang senang mengobral pembicaraan ke sana-ke mari, belum tentu itu pesan sesungguhnya yang akan disampaikan. Jika orang ingin akurat menangkap pesan, dalam benaknya harus ada dugaan sebaliknya. Inti pesan komunikasi sering ada pada penyataan yang tidak disampaikan.

Jika seorang kandidat mengatakan A, sebenarnya pesan yang ingin disampaikan sesungguhnya bisa jadi bukan A. Artinya, jika seorang kandidat mengatakan akan mencanangkan SPP gratis untuk sekolah menengah, harus dipahami jangan-jangan tidak sebagaimana yang dikatakan.

Apa yang diungkapkan di sini bukan bermaksud “kampanye terselubung” agar masyarakat tidak berpartisipasi dalam pilkada. Maksud sebenarnya adalah memberikan pelajaran penting bagi masyarakat untuk tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan kandidat. Dalam hal ini masyarakat tetap perlu melihat rekam jejak dan latar belakang kandidat yang dipilih.

Tentu saja imbauan tersebut tidak berlaku bagi mereka yang punya prinsip “pokoknya” atau “situ kasih uang, saya kasih suara”. Orang-orang seperti ini kebanyakan tidak peduli dalam upaya membangun sistem yang lebih baik. Dengan kata lain, mereka berpikiran jangka pendek. Namun, mereka ini seolah merasa menjadi pahlawan untuk protes pada pemerintah atau kandidat terpilih jika pemerintah atau kandidat terpilih itu melakukan kesalahan. Para pasukan ini protes karena kandidat pilihannya kalah.

Maka itu, agar tidak kecewa pahami bahwa inti komunikasi itu adalah apa yang tidak dikatakan atau dikemukakan secara kasat mata. Ini berlaku dalam Pilkada Serentak 2018.

Negeri Para Komedian
Apakah Anda pernah mengamati para komedian? Coba disimak lebih jeli. Para komedian atau yang mengklaim dirinya komedian selalu punya tujuan menghibur. Apa pun akan dilakukan, yang penting bisa menghibur. Termasuk di sini adalah apakah yang dikatakannya itu benar atau tidak bukan soal, yang penting menghibur. Tujuannya saja menghibur, bukan?

Klaim masyarakat bahwa dirinya seorang komedian itu mengonstruksi pikiran dan perilakunya bahwa dirinya hadir di tengah masyarakat juga harus bisa menghibur. Alasannya, masyarakat sudah telanjur memberikan klaim sebagai dirinya sebagai komedian. Ia akan “mati gaya” jika tidak mencerminkan dirinya sebagai penghibur itu.

Konstruksi demikian ternyata terbawa pada perilaku sehari-hari. Terhadap masalah yang serius pun ia bisa menghibur tentu saja dengan bumbu-bumbu dramatisasi sekadarnya. Sebagai masyarakat umum, tentu harus dipahamkan bahwa komedian itu sedang acting meskipun tidak ada dalam panggung. Bisa jadi, asumsi ini tidak benar, tetapi tidak seratus persen salah.

Apa pelajaran yang bisa kita petik? Anggap saja negeri ini adalah negeri para komedian. Anggap saja tidak banyak kandidat yang tulus untuk mengubah persoalan negara ini. Anggapan ini perlu dikemukakan agar kita tidak kecewa jika menemukan pemimpin yang lambat dalam bekerja, mementingkan kroninya bahkan korupsi.
Apakah bisa dikatakan bahwa para kandidat itu para komedian? Saya tidak menganggapnya begitu. Namun, sikap hati-hati untuk tak terjebak pada pernyataan lisan, termasuk iklan, tetap harus dipegang teguh masyarakat. Jangan sampai, mereka terbuai dengan janji-janji kosong sementara akhirnya kecewa. Masyarakat tentu tidak mau melihat sinetron yang setiap lima tahun diulang-ulang, bukan?

Kesimpulannya, masyarakat tidak boleh lagi terjebak pada pernyataan lisan atau yang terlihat pada diri kandidat kepala daerah. Melihat di balik itu akan membuat kita bisa melihat dari berbagai sisi yang menjadikan seseorang tidak akan mudah dikecewakan. Kalau kita tidak bisa melakukan hal tersebut, anggap perhelatan pilkada adalah sebuah pentas komedi para pelaku politik.

Politik Zig-zag Pilkada 2018

Politik Zig-zag Pilkada 2018
AKHIR-AKHIR ini publik disajikan drama politik yang tidak lucu berkaitan proses pencalonan kepala daerah dalam pilkada serentak di 171 wilayah pada Juni 2018. Banyak partai yang melakukan tarik-ulur dukungan kepada bakal calon yang semakin menegaskan diktum politik lama bahwa yang pasti dalam politik ialah ketidakpastian itu sendiri.

Pilkada Jawa Barat merupakan contoh sempurna. Golkar tiba-tiba mencabut dukungan kepada Ridwan Kamil sebagai bakal calon gubernur. PKS mendadak balik arah dan mengalihkan dukungannya dari Deddy Mizwar ke Mayjen (Purn) Sudrajat.

Pertimbangan Calon
Dalam proses penentuan calon kepala daerah dan membangun koalisi dalam pilkada, partai-partai umumnya memakai tiga pertimbangan penting. Pertama, elektabilitas calon kepala daerah yang akan diusung. Inilah variabel penting yang sering menjadi dasar partai dalam memberikan rekomendasi.

Partai sadar bahwa popularitas calon lebih menentukan hasil akhir pilkada ketimbang mesin partai. Dengan tingkat kedekatan terhadap partai (party ID) yang rendah di Indonesia (survei Indikator Politik Indonesia terakhir hanya di kisaran 10%) dan keanggotaan partai (party membership) yang sangat minimalis, politik elektoral kita lebih dipengaruhi magnet elektoral calon yang diusung partai ketimbang partai. Akibatnya, dengan dalih elektabilitas kuat, partai sering memberi tiket kepada calon yang bukan berasal dari partai ketimbang kadernya sendiri. Koalisi dalam pilkada menjadi sangat cair dan nirideologis.

Kedua, kecukupan syarat teknis pencalonan kepala daerah juga menjadi pertimbangan krusial. Kita tahu, dalam UU terbaru, partai atau gabungan partai baru dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Banyak partai yang tak punya kemewahan mencalonkan tanpa koalisi dengan partai lain.

Akibatnya, banyak di antara mereka yang bermanuver dalam menjodohkan calon yang digadang-gadang dengan calon dari partai lain guna memenuhi ambang batas pencalonan yang tinggi. Jika partai pengusung lebih dari dua, sedangkan jatah posisi calon kepala daerah dan wakilnya terbatas, proses barter umum dilakukan untuk membeli perahu atau uang mahar. Inilah awal dari “kawin paksa politik” yang sering menjadi penyebab pecah kongsi pasangan kepala daerah jika mereka terpilih.

Aroma Pilpres
Terakhir, faktor koalisi linear pilkada dengan pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. Inilah variabel baru dan aktual yang turut memengaruhi Pilkada Serentak 2018. Sebelum 2018, faktor elektabilitas cenderung mendominasi pertimbangan partai dalam menentukan pilihan. Kini pertimbangan koalisi pilkada linear dengan koalisi pilpres jadi penting.

Berhubung Pilkada 2018 akan diselenggarakan sembilan bulan sebelum Pilpres 2019, bahkan hanya dua bulan sebelum proses nominasi capres via KPU, aroma pilpres sangat terasa dalam penentuan koalisi pilkada. Pilkada 2018 adalah “semifinal” menuju Pilpres 2019 sebagai grand final kompetisi elektoral. Inilah yang menyebabkan politik zig-zag lebih sering terjadi dalam dinamika pilkada kali ini.

Hengkangnya PKS dalam koalisi pendukung Deddy Mizwar tak bisa dilepaskan dari desain koalisi 2019 yang ingin dipatenkan antara PKS, Gerindra, dan PAN. Twitwar awal tahun antara Deddy Mizwar dan Hidayat Nurwahid mengenai kontrak politik yang ditandatangani Deddy terkait komitmennya menyukseskan capres yang diusung Partai Demokrat merupakan bukti bahwa Pilkada 2018 tak bisa dilepaskan aromanya dari Pilpres 2019. Pertemuan khusus Prabowo Subianto, Shohibul Iman, dan Zulkifli Hasan menjadi pretext mundurnya PKS dalam barisan pendukung Deddy.

Jika faktor Pilpres 2019 dianggap penting dalam mendesain koalisi pilkada, apakah ada hubungan linear antara sukses elektoral di pilkada dengan pilpres? Data menunjukkan sejak rezim pilkada dimulai sejak 2005, tak ada korelasi antara hasil pilkada dengan pilpres maupun pemilu legislatif.

Kemenangan calon dalam pilkada tak serta-merta menjadi garansi sukses partai di pileg atau pilpres. Jawabannya sederhana, pemilih makin bersifat otonom. Selain itu, calon kepala daerah yang unggul umumnya juga diusung oleh banyak partai. Meskipun tak ada hubungan linear, karena momentum pilkada hanya beberapa bulan sebelum Pemilu Serentak 2019, secara psikologis hasil pilkada memengaruhi kesiapan dan kepercayaan diri partai-partai dan bakal capres yang akan berlaga nantinya.

Hasil Pilkada 2018 terutama di provinsi-provinsi dengan populasi gemuk seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan akan dilihat sebagai indikator sukses awal jelang hajatan 2019. Tiga provinsi di Jawa yang akan menggelar pilkada di 2018, misalnya, menyumbang 47% dari total populasi pemilih di Indonesia.

Lebih khusus lagi Jawa Barat yang selama ini menjadi barometer pemilu legislatif dan Jawa Timur yang menjadi barometer pilpres, tentu akan mendapat perhatian tersendiri dari kalangan elite dalam rangka meraih sukses di Pemilu Serentak 2019. Inilah pilkada dengan rasa nasional, dan partai-partai dan bakal capres akan memanaskan mesinnya dengan menunggangi Pilkada Serentak 2018.

Menuju Pilkada 2018 (Catatan Pilkada Lampung 2017)

Menuju Pilkada 2018 (Catatan Pilkada Lampung 2017)
DALAM konteks perkembangan penerapan demokrasi, dalam perspektif pemilihan kepala daerah, merupakan drama yang memiliki episode-episode kontekstual dengan dinamika politik dalam transisi demokrasi di Indonesia (Hoesein dan Yasin, 2015). Hal ini terkait dengan banyaknya varian pilihan penerapan demokrasi sebagai bagian dari dinamika politik yang berbanding lurus dengan kondisi dinamis, baik di dalam negeri maupun dalam tataran global.

Pada masa transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan yang demokratis akan selalu ditandai dengan adanya liberalisasi dan demokratisasi dalam segala bidang, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Di sisi lain, secara sederhana dan bebas, demokrasi dapat didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan. Formulasi kebijakan, secara langsung atau tidak, amat ditentukan suara mayoritas warga masyarakat yang memiliki hak suara melalui wadah pemilihan (Leo Agustino, 2014).

Demikian halnya dalam hal rekrutmen pejabat politik pada tingkat lokal atau daerah yang juga dapat dilakukan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Rekrutmen politikus lokal dilakukan fair melalui seleksi ketat yang dilakukan masyarakat melalui lembaga-lembaga yang ada dengan syarat representatif (Wahyudi dan Saleh, 2013).

Pelaksanaan pilkada merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan pengakuan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang merupakan salah satu ciri dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Meskipun hingga kini pilkada masih banyak dinilai hanya menerapkan demokrasi prosedural di daerah, satu hal yang tidak dapat diabaikan adalah keberhasilan pilkada dengan segala kekurangannya telah mampu melakukan sirkulasi wajah kekuasaan di Indonesia, khususnya di daerah, dari formasi yang homogen dan monolitik ke arah kekuasaan yang lebih variatif dan plural.

Pilkada Serentak
Demikian halnya dengan pelaksanaan pilkada serentak yang sudah dimulai semenjak 2015 dan akan memasuki tahun ke-3 pada 2018. Sejatinya tidak dapat dikatakan serentak karena tidak melibatkan semua kabupaten/kota dan provinsi se-Indonesia yang sejatinya akan dilaksanakan secara nasional pada 2027. Namun, jadwal pilkada kabupaten/kota dan provinsi yang berdekatan diajukan berbarengan tanpa mengurangi masa jabatan kepala daerah yang lama.

Pada 2017, Provinsi Lampung melaksanakan hajat lima tahunan dengan melakukan pilkada bersama di lima kabupaten yaitu Mesuji, Tulangbawang Barat, Tulangbawang, Pringsewu, dan Lampung Barat. Hasil dari pilkada bersamaan di lima kabupaten tersebut tidak terlalu mengagetkan publik Lampung. Namun, ada beberapa daerah yang patut menjadi catatan penulis, yaitu untuk Tulangbawang Barat dan Tulangbawang.
Tulangbawang Barat adalah satu dari sekian kabupaten yang melaksanakan pilkada dengan calon tunggal. Dalam artian, pasangan Umar Ahmad dan Fauzi Hasan tidak mendapatkan lawan sehingga dilawankan dengan kotak kosong. Untungnya, hasil dari pilkada dengan calon tunggal di Kabupaten Tulangbawang Barat adalah 95,9% pemilih menyatakan setuju, sedangkan sisanya 4,1 persen tidak setuju.

Bagaimana jika kejadian seperti di Kabupaten Pati, calon tunggal yang diusung oleh delapan partai politik harus kalah melawan kotak kosong. Akhirnya, Pilkada Pati harus diulang sampai munculnya bupati terpilih.
Keberhasilan pilkada calon tunggal di kabupaten Tulangbawang Barat ini patut menjadi catatan. Pertama, gagalnya partai politik melaksanakan fungsi partai politik yang salah satunya adalah mengusung kadernya sendiri melawan petahana, sehingga mengakibatkan partai politik menggadaikan kendaraannya kepada petahana yang berujung munculnya calon tunggal.

Kedua, keberhasilan pembangunan di Tulangbawang Barat oleh pasangan petahana menyebabkan calon-calon lain mengundurkan diri walau hanya untuk calon independen. Hal ini hampir sama kasusnya dengan di Kota Surabaya, saat keberhasilan Risma membangun Kota Surabaya menjadikannya wali kota dua periode berturut-turut dengan kemenangan angka yang cukup mutlak dengan pesaingnya.

Berikutnya yang juga tidak kalah untuk menjadi catatan bagi kepala daerah petahana yang akan maju lagi pada Pilkada Serentak 2018 adalah kejadian yang menimpa Kabupaten Tulangbawang. Pasangan petahana Hanan A Rozak dan Heri Wardoyo dengan total suara 45,14% dipaksa mengakui kemenangan Winarti-Hendriwansyah yang mendapatkan dukungan suara sebesar 47,65%. Selisih suara yang cukup jauh ini tidak cukup untuk pasangan petahana melakukan permohonan pilkada ulang ke MK.

Kemenangan Winarti-Hendriwansyah ini patut juga menjadi catatan akhir tahun 2017. Pertama adalah Winarti-Hendriwansyah berhasil menarik simpati masyarakat Tulangbawang dengan janji-janji kampanyenya. Hal ini didukung dengan kegagalan pemerintahan Hanan A Rozak-Heri Wardoyo dalam melakukan perubahan di Tulangbawang, khususnya dalam hal pembangunan. Hal ini tampak sekali jika dibandingkan dengan kabupaten tetangganya, yaitu Tulangbawang Barat. Meskipun kabupaten pecahan, kemajuan pembangunan di Tulangbawang Barat lebih nyata dibandingkan di Tulangbawang.

Kedua adalah faktor Winarti sendiri sebagai seorang legislator perempuan yang mampu menarik suara ibu-ibu dan kaum perempuan untuk memilih dia. Keberhasilan Winarti ini yang tidak dapat disamai oleh Dewi Arimbi dan Siti Rahmah pada Pilkada Pringsewu. Maka itu, jadilah Winarti sebagai kepala daerah perempuan kedua di Provinsi Lampung setelah Chusnunia Chalim sebagai bupati Lampung Timur. Sekarang kita tinggal menunggu apakah Winarti dapat merealisasikan janji-janjinya untuk memajukan Tulangbawang. Sebab, kalau tidak dan bahkan prestasi kerjanya sama dengan pendahulunya, bukan tidak mungkin di pilkada berikutnya tidak akan terpilih lagi.

Tunjukkan Kinerja

Berdasarkan hal tersebut dan menyambut tahun politik pada 2018, yang akan dilaksanakan dua pemilihan bupati dan wakil bupati, yaitu di Tanggamus dan Lampung Utara dan satu pilihan gubernur, yang berlanjut pada 2019 pemilihan legislatif baik pusat dan daerah berbarengan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah baik baru maupun petahana harus belajar kepada dua daerah tersebut.

Bagi petahana, jika ingin terpilih kembali, tidak ada lagi syaratnya selain menunjukkan kinerja nyata berupa pembangunan di segala bidang kepada rakyat pemilih. Bagi lawan, dapat mencari hal-hal yang tidak sempat dikerjakan pasangan petahana dengan belajar kepada kasus Winarti-Hendriwansyah. Winarti selain dapat menunjukkan kegagalan pasangan petahana dalam pembangunan sosok, dia sebagai perempuan dapat menarik hampir 40% suara perempuan dan ibu-ibu untuk memilihnya. Hal ini sudah terbukti dalam Pilkada Kabupaten Pesisir Barat, Lampung Timur, dan yang terbaru Tulangbawang. Jadi, jangan abaikan suara pemilih perempuan! Selamat tahun baru 2018. Mari kita songsong tahun politik dengan santun dan demokratis.

Fa Aina Tadzhabun?

Fa Aina Tadzhabun?
JARUM jam terasa semakin cepat berputar. Kita semua merasa pergantian tahun berjalan begitu cepat. Tahun demi tahun kita jalani dengan berbagai kesibukan sehingga seolah tidak terasa bahwa umur kita semakin bertambah. Dalam menjalani siklus pergantian tahun, menarik untuk disimak sebuah pertanyaan Tuhan di dalam ayat Alquran, Fa aina tadzhabun? (Maka kalian mau ke mana?) (QS Al-Takwir/81:26).

Ayat itu tampil berdiri sendiri mengingatkan visi dan misi kehidupan kita, untuk apa kita lahir? Ke mana kita akan pergi? Apa tujuan hidup kita? Bekal apa yang harus disiapkan di dalam menjalani perjalanan hidup ini? Berapa lama kita akan hidup? Apa tanggung jawab di balik kehidupan ini?

Terlalu banyak muatan makna pertanyaan Tuhan di dalam ayat pendek tersebut. Ayat tersebut menyentak kita untuk mempertanyakan dan menyadarkan kita di dalam menjalani sisa-sisa perjalanan hidup kita. Jika ada sebuah teks pertanyaan tanpa jawaban di dalam Alquran, itu menunjukkan adanya jawaban penting yang harus ditanggapi.

Kehidupan yang tersisa ini seharusnya kita jalani dengan visi dan tujuan yang jelas supaya kita tidak termasuk orang yang amat merugi di kemudian hari. Alangkah ruginya kalau kehidupan kita ini sama saja dengan kehidupan kita dengan masa lalu. Ayat di atas seolah memberikan energi batin bagi kita untuk berubah (shifting).

Bagaimana agar kualitas hidup kita hari ini lebih baik daripada hari kemarin dan hari-hari masa depan kita lebih baik daripada hari ini. Hadis Nabi mengingatkan alangkah ruginya seseorang jika hidupnya hari ini sama saja dengan hari kemarin. Lebih rugi lagi jika hidupnya hari ini lebih buruk daripada hari kemarin.

Muhasabah

Tidak ada kata terlambat untuk mengevaluasi diri kita untuk merencanakan kualitas hidup lebih baik daripada hari kemarin, hari ini, dan hari-hari berikutnya. Pertanyaan menarik itu bukan hanya penting dihayati secara individu, melainkan juga untuk keluarga, masyarakat, dan kita semua sebagai warga bangsa/negara karena ayat tersebut menggunakan lafaz jamak (tadzhabun).

Jadi, yang perlu mendapatkan direction kehidupan bukan hanya diri sendiri, melainkan juga keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Yang akan celaka bila tidak menjalani tata kelola kehidupan ini bukan hanya orang-perorangan, melainkan juga anggota masyarakat dan bangsa atau negara.

Sejalan dengan ayat di atas, ada ayat lain mengingatkan, “Likulli ummatin ajal, fa idza jaa ajaluhum la yasta'khiruna sa'atan wa la yastaqdimun (Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajal mereka, tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat [pula] memajukannya).” (QS Al-A'raf/7:34).

Orang, keluarga, masyarakat, negara, rezim atau orde, yang tidak memiliki visi, misi, dan tujuan hidup yang jelas dikhawatirkan ajalnya akan tiba lebih awal. Khusus untuk ajal suatu masyarakat, Ibnu Khaldun pernah mengingatkan kepada kita terhadap empat generasi yang akan menentukan cepat atau lambatnya ajal masyarakat itu tiba. Pertama generasi perintis, kedua generasi pembangun, ketiga generasi penikmat, dan keempat generasi penghancur. Setelah itu, muncul lagi generasi baru yang akan merintis, membangun, menikmati, dan selanjutnya kembali menghancurkan. Demikianlah seterusnya, sejarah selalu berulang.
Alquran menayangkan beberapa contoh yang menunjukkan betapa riskannya ajal sebuah generasi. Terkadang individu yang memiliki perencanaan yang matang di dalam menjalani kehidupannya lebih panjang ajalnya daripada ajal masyarakatnya. Di antara generasi bangsa Indonesia banyak sekali yang pernah merasakan beberapa pergantian generasi (orde).

Ada yang pernah menyaksikan tibanya ajal penjajahan Jepang, Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru. Terkadang umur individu kita lebih panjang daripada umur masyarakat atau rezim kita. Sebaliknya, ada juga suatu komunitas lebih panjang usia kemasyarakatannya bila dibandingkan dengan usia individunya. Boleh jadi ada sebuah individu berkali-kali mati sebagai masyarakat atau rezim, tetapi tetap tegar sebagai individu.
Idealnya, usia individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa/negara/rezim sama-sama awet dalam kehidupan yang ideal, sebagaimana ditegaskan di dalam cita-cita bangsa yang tertuang di dalam preambule UUD 1945.
Dalam tahun atau bulan-bulan politik seperti tahun mendatang, seharusnya kita semua wawas diri sambil memohon petunjuk Tuhan Yang Mahakuasa agar kita semua, baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun sebagai warga bangsa/negara, tetap berada di dalam lindungan Tuhan Yang Mahakuasa. Semoga kita semua tetap berada dalam suasana stabil, makmur, tenang, dan bahagia.

Ke Mana Arah Pemberontakan Rakyat Iran?

Ke Mana Arah Pemberontakan Rakyat Iran?
GERAKAN protes rakyat Iran yang dimulai di Kota Mashhad pada 28 Desember kini telah menyebar hingga kota-kota kecil. Korban jiwa pun terus berjatuhan. Hingga artikel ini ditulis, sudah 20 demonstran yang meninggal ditembak aparat. Demonstrasi terbesar sejak 2009 itu mirip dengan Arab Spring yang meledak di negara-negara Arab pada 2011 yang menjatuhkan sejumlah diktator. Unjuk rasa muncul secara spontan tanpa pemimpin dengan kondisi ekonomi sebagai isu awal yang kemudian meluas ke isu politik.

Memang belakangan ini harga bahan pokok di Iran melambung hingga 40%. Sementara itu, pengangguran cukup tinggi, jurang kaya-miskin semakin lebar, korupsi marak, dan besarnya pengeluaran untuk operasi militer dan dukungan pada milisi-milisi Syiah di kawasan. Selain itu, terlihat ketiadaan akuntabilitas pemerintah untuk semua dana negara yang dibelanjakan.
Empat Pemicu
Paling tidak ada empat hal yang mendorong rakyat turun ke jalan. Pertama, janji pemerintahan Presiden Hassan Rouhani akan kondisi ekonomi rakyat yang membaik pasca-kesepakatan nuklir Iran. Sebagaimana diketahui, pada 2015 tercapai kesepakatan nuklir Iran antara Iran di satu pihak dan P5+1 (AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis) plus Jerman di pihak lain.

Kesepakatan itu mengharuskan Iran membatasi pengayaan uranium hingga ke tingkat Negara Mullah itu tak dapat membuat bom atom. Sebagai imbalan, sanksi ekonomi dan finansial internasional atas Iran dicabut. Wajar jika kemudian rakyat Iran punya ekspektasi tinggi akan penghidupan yang lebih baik. Namun, faktanya janji-janji pemerintah itu tidak terbukti.

Menurut Bank Sentral Iran, pada Agustus lalu pengangguran mencapai 12,7% dalam tahun fiskal ini. Kendati inflasi turun dan GDP riil terus tumbuh, laporan IMF pada Februari lalu mengungkapkan pertumbuhan di sektor nonmigas rata-rata hanya 0,9%, merefleksikan kesulitan yang terus terjadi dalam akses keuangan Iran, mengingat bank-bank negara Barat enggan membiayai kesepakatan bisnis yang dibuat Teheran karena takut sanksi AS. Selain itu, di tengah maraknya korupsi, 10 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan absolut dan 30 juta di bawah garis kemiskinan relatif dari 80 juta penduduk.

Kedua, terjadi pergantian pemerintahan di AS sejak Januari lalu. Naiknya Donald Trump yang sangat anti-Iran menjadi orang nomor satu ikut memengaruhi ekonomi Iran. Sejak masa kampanye pemilihan presiden, Trump berjanji membatalkan kesepakatan nuklir Iran. Pada Oktober lalu, Trump tidak lagi menyertifikasi kesepakatan nuklir Iran, yang berdampak ada kemungkinan sanksi diterapkan kembali. Itu membuat kalangan pebisnis asing enggan masuk ke Iran untuk berinvestasi.

Ketiga, anjloknya harga minyak dunia sejak 2014. Iran, yang 80% pemasukan luar negerinya berasal dari ekspor minyak, tentu saja cukup terpukul meskipun kapasitas produksi minyaknya telah dinaikkan.
Keempat, di saat keuangan Iran sangat terbatas, pemerintah mengeluarkan miliaran dolar untuk perang proksi di Suriah. Sebagian lagi digunakan untuk mendukung milisi-milisi Syiah di Irak, Lebanon, dan Yaman, serta membantu Hamas dan Jihad Islam di Jalur Gaza.

Tuntutan Rakyat
Tak mengherankan, dalam demonstrasi, rakyat menuntut agar pemerintahan menghentikan petualangan militer di kawasan. Demonstran juga menuntut Rouhani dan pemimpin tertinggi Ayatullah Ali Khamenei mundur. Sebenarnya, Rouhani tidak bertanggung jawab atas operasi militer di kawasan. Khamenei yang harus dikritik karena operasi militer di luar negeri dijalankan Korps Garda Revolusi di bawah kendali Khamenei.

Pemerintahan Donald Trump—yang geram dengan politik ekspansif Iran di kawasan yang mengganggu kepentingan AS dan sekutu Arab mereka memanfaatkan momentum itu dengan memprovokasi rakyat Iran untuk terus memberontak terhadap pemerintah. Trump mengatakan Pemerintah Iran yang korup hanya membuang-buang dana negara dengan melibatkan diri dalam perang proksi di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman, dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat Iran. Trump melihat ini momen menekan Iran.

Negara-negara Arab Teluk pun mendukung pemberontakan rakyat Iran. Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain sudah lama kecewa pada Iran yang dipandang menghadirkan politik sektarian di kawasan dan melakukan intervensi terhadap persoalan dalam negeri mereka. Bukan hanya Iran mendukung dan mendanai milisi Syiah di Irak (Hashid al-Shaabi), di Suriah (Hezbullah), dan Houthi (Yaman), melainkan juga menyokong pemberontakan komunitas Syiah di Bahrain dan Saudi.

Pada 2016 Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran setelah Teheran mengkritik keras eksekusi mati ulama Syiah Saudi, Sheikh Nimr Baqir al-Nimr. Bahrain pun mengikuti jejak Saudi. Sementara itu, UEA menurunkan tingkat hubungan diplomatik.

Kendati demonstrasi menggambarkan keresahan rakyat atas situasi ekonomi dan politik, belum jelas ke arah mana pemberontakan itu mau dibawa. Kalau pemberontakan 2009 terkait dengan masalah keterpilihan Mahmoud Ahmadinejad menjadi presiden untuk kedua kalinya dipimpin mantan Perdana Menteri Mir Hussein Musavi dan mantan Ketua Parlemen Mehdi Karoubi dari kubu reformasi (keduanya sampai sekarang masih dikenai tahanan rumah), unjuk rasa kali ini tidak terpimpin. Tuntutannya pun bermacam-macam. Namun, pemerintah harus segera memperhatikan apa yang menjadi tuntutan rakyat dengan melakukan reformasi signifikan di segala bidang.

Kekuasaan lembaga Velayat-e Faqeh yang dikendalikan Khamenei harus dikurangi, kalau tidak bisa dihapus, untuk menciptakan negara Iran yang demokratis dan akuntabel. Memang ganjil parlemen dan presiden yang dipilih rakyat melalui pemilu demokratis harus tunduk pada Velayat-e Faqeh yang tidak dipilih rakyat. Itu berpotensi menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat Iran sudah lama menderita dan penderitaan inilah yang sekarang menggema di jalanan.

Menggaet Manfaat Annual Meetings IMF-WB ke Daerah

Menggaet Manfaat Annual Meetings IMF-WB ke Daerah
PADA 8—14 Oktober 2018 di Bali akan diadakan pertemuan penting berskala dunia, yaitu para pemimpin ekonomi dunia, dalam pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) dengan World Bank atau Annual Meeting IMF-WB. Selain dihadiri seluruh menteri keuangan dan gubernur bank sentral dunia, pertemuan tahunan ini juga akan dihadiri 3.500—5.000 investor di industri keuangan yang siap berinvestasi, 500 CSO, lembaga internasional, LSM, anggota parlemen, akademisi, media, dan observer dengan total peserta sebanyak 12.500 hingga 15 ribu orang.

Pertemuan ini jarang sekali terjadi bahkan mungkin 50 tahun sekali. Kita harus bangga Indonesia mendapatkan kesempatan ini, karena mata seluruh mata dunia akan tertuju ke negeri ini. Pertemuan ini akan mendiskusikan perkembangan ekonomi dan keuangan global serta isu-isu terkini, seperti isu proteksionisme, isu perubahan iklim, isu stabiliitas keuangan global, isu tax reform, isu iklim bisnis (business climate), isu kemiskinan, pengangguran, lapangan kerja, isu sosial gender, dan isu ketidakmerataan (inequality).

Beberapa diskusi penting dunia yang lebih spesifik akan digelar dalam pertemuan ini antara lain G24 Meeting,  Constituent/Regional Meeting seperti ASEAN, MENA, CEMAC, CEMLA, G7 Meeting, dan G20 Meeting. Annual Meeting 2018 ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk mempercepat kemajuan Indonesia, melalui promosi peluang-peluang investasi, menjual isu-isu terkait di Indonesia seperti modernisasi dan inclusiveness dari perekonomian syariah, upaya Indonesia meningkatkan kinerja perekonomian dan resilient ekonomi Indonesia, promosi kemudahan berinvestasi di Indonesia, kebijakan perdagangan, suprastruktur dan infrastrukutur, hingga promosi wisata alam dan budaya, karena seluruh mata dunia akan tertuju ke Indonesia saat itu.

Banyak negara yang berminat untuk menjadi tuan rumah pada pertemuan berskala dunia ini. Penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah bukan tanpa alasan. Indonesia punya banyak pengalaman sukses dalam menyelenggarakan event-event berskala dunia yang punya arti penting terhadap kebijakan dunia, seperti pada 1955 kita sukses mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), APEC tahun 2013, dan pertemuan IDB dan WEF tahun 2016. 

Selain itu, Indonesia juga dipandang sebagai negara yang reformis, resilient, dan sangat progresif dan potensial yang telah menggunakan sistem keuangan yang sesuai dan bersinergi dengan sistem keuangan dunia. Sebagai digitalized economy country, Indonesia memiliki inclusive growth yang baik. Indonesia dinilai dunia memiliki banyak program dan kebijakan yang baik, yang dapat dijadikan show case untuk menginisiasi negara-negara di dunia.

Lainnya seperti pembersihan Sungai Citarum yang sudah dikenal dunia, Woman Empower Program yaitu bagaimana ibu-ibu di desa yang semula tidak produktif lalu diberdayakan dengan program ini dan akhirnya dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Program infrastruktur sosial yang menyatukan dan dilakukan oleh non-government organization seperti yang dilakukan Muhamadiyah yang membangun fasilitas sekolah yang ditujukan untuk siswa tanpa melihat agama dan lain-lain.

Show case ini bisa dibawa dalam isu membangun infrastruktur sosial melalui isu keberagaman. Demikian juga ada sistem keuangan inklusif. Di Bali ada lembaga perkreditan di tingkat desa yang menerapkan sistem syariah. Bali dipilih sebagai tempat perhelatan utama event ini karena dianggap sebagai centre of ASEAN yang mudah terjangkau dari berbagai negara.

Ambil Manfaat
Pertemuan tahunan IMF-WB ini berdampak penuh terhadap perekonomian dan pembangunan Indonesia dan daerah pada umumnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, geliat di beberapa sektor akan dirasakan terutama sektor MICE, transportasi, akomodasi, belanja, hiburan, makanan dan minuman, dan wisata.

Manfaat jangka panjang berupa persepsi positif dari dunia pada Indonesia, leadership di dunia, meningkatkan investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta berkembangnya wisatawan dan tenaga kerja. Tidak hanya manfaatnya berdampak di Bali, seluruh provinsi di Indonesia juga dapat menikmatinya melalui extended time.
Tidak hanya perkembangan satu atau dua sektor, seluruh sektor juga diharapkan berdampak. Indonesia bisa memperkenalkan seni budaya kita, wisata kuliner, ragam tarian, dll. Keberagaman dalam kehidupan, sistem keuangan syariah yang berkembang di Indonesia, bisa menjadi show case unik menginisiasi dunia. Program kebijakan ramah lingkungan, energi terbarukan, peluang investasi dalam green economy, program pengamanan dan menjaga hutan lindung, kemitraan dll. Pertanyaannya adalah bagaimana memanfaatkan momentum ini sebaik-baiknya bagi Indonesia pada umumnya dan daerah pada khususnya?

Untuk memperoleh manfaat, setiap daerah harus menyusun potensi investasi yang menarik di daerahnya yang akan ditawarkan dalam pertemuan ini, sebab triliunan dana pensiun di dunia akan ditawarkan melalui agenda ini. Kebijakan-kebijakan daerah yang unik dan inovatif diharapkan dapat diusulkan dalam show case tersebut, seperti upaya pemda mengatasi ketimpangan (inequality), perbanyak infrastruktur, peningkatan keterampilan pekerja, mendirikan sekolah-sekolah vokasi, dll.

Pendanaan untuk kegiatan ini sudah masuk APBN 2018. Secara ekonomi, diperkirakan proyeksi dana yang akan  masuk ke Indonesia dari perhelatan ini sebesar Rp1,7 triliun, nonekonomi berupa bentuk promosi yang cair, terbangunnya networking, terjalinnya beberapa kerja sama ekonomi, dan keuangan. Hingga saat ini, sudah ada tawaran 62 paket wisata in Bali dan out of Bali. Beberapa provinsi yang sudah siap memanfaatkan extend waktu dari peserta annual meeting ini. Selain Bali yaitu Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Sumatera Utara, Lombok.

Partisipasi Lampung

Bagaimana persiapan Provinsi Lampung? Lampung dapat ikut berpartisipasi aktif dan memperoleh manfaat dari Annual Meeting 2018 ini. Beberapa potensi investasi yang bisa ditawarkan Lampung antara lain di sektor energi terbarukan, biomassa, panas bumi, investasi di sektor perkebunan, sawit, gula, singkong. water catchment program dengan menjaga keberadaan hutan lindung, dan investasi di sektor pariwisata.

Provinsi Lampung juga memiliki objek wisata yang terkenal di dunia, seperti Gunung Anak Krakatau, Way Kambas, snorkeling dan diving di Pulau Pahawang, Kiluan dengan lumba-lumbanya, kerajinan tapis, dll. Sisi inclusiveness system perbankan syariah, pembiayaan  pesantren yang marak di Lampung, model wakaf, dan pemberdayaan ekonomi pesantren bisa diperkenalkan kepada dunia.
Dari sisi sosial kependudukan, show case yang bisa Lampung diperkenalkan berupa kebijakan-kebijakan Pemprov Lampung menjaga kerukunan antaretnis, antaragama, dan mengelola transmigrasi. Dari sektor pariwisata, Lampung menawarkan paket wisata ke tujuan objek wisata terrebut.

Momen dunia ini bisa dimanfaatkan Lampung untuk men-show case semua kebijakan/program/kegiatan/komoditas/sektor/investasi di Lampung yang unik yang bisa menjadi contoh dunia atau berefek pada dunia. Pemprov Lampung juga dapat memanfaatkan momen ini untuk mendekati investor yang potensial atau sebagai chanelling investor seperti investor untuk pembangunan jalan dan investasi hijau, mengingat Lampung mampu menjaga hutan lindung demi menjaga paru-paru dunia, serta beberapa contoh model pembangunan yang sustainable.

Untuk itu, Pemprov Lampung harus segera mempersiapkan konsepnya secara utuh dan segera menghubungi panitia pusat melalui HYPERLINK "http://www.am2018bali.go.id" www.am2018bali.go.id , HYPERLINK "mailto:AM2018_BI@bi.go.id" AM2018_BI@bi.go.id , atau HYPERLINK "mailto:am_2018@kemenkeu.go.id" am_2018@kemenkeu.go.id .

Pemimpin Baru, Harapan Baru

Pemimpin Baru, Harapan Baru
DALAM kurun waktu Desember 2017, Gubernur Lampung M Ridho Ficardo melantik dua pemimpin baru, bupati dan wakil bupati, di Lampung hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak Tahun 2017. Pasangan Parosil Mabsus–Mad Hasnurin dilantik pada 11 Desember 2017 sebagai bupati dan wakil bupati Lampung Barat dan pada 18 Desember 2017 pasangan Winarti–Hendriwansyah dilantik sebagai bupati dan wakil bupati Tulangbawang.

Dikatakan sebagai pemimpin baru karena di antara lima kabupaten yang melaksanakan Pilkada 2017, pemilihan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tulangbawang dimenangkan oleh pasangan baru, sementara untuk tiga kabupaten lainnya, Pringsewu, Mesuji, dan Tulangbawang Barat, dimenangkan calon incumbent.
Pilkada 2017 telah mengantarkan sosok Winarti yang pernah menjabat ketua DPRD Tulangbawang selama dua periode sebagai kepala daerah perempuan kedua di Provinsi Lampung setelah Chusnunia Chalim yang merupakan bupati Lampung Timur. Munculnya sosok perempuan dalam kontestasi politik lokal dan nasional merupakan pengakuan dan pembuktian tentang perlunya partisipasi perempuan dalam perkembangan politik dan demokrasi. Kepemimpinan perempuan di kancah politik lokal menjadi ajang dan sarana pembuktian bahwa perempuan pun dapat menjadi leader, inovator, dan penggerak pembangunan.

Keterlibatan perempuan dalam dunia politik menjadi nilai tersendiri yang perlu dihargai dan didukung dalam turut serta membangun negara. Hadirnya kepala-kepala daerah baru di bumi Lampung yang memiliki jiwa muda, energik, dan merakyat menjadi stimulan tersendiri bagi masyarakat untuk memberikan harapan baru dalam perkembangan pembangunan di Lampung.

Persoalan-persoalan mendasar di daerah dalam aspek tata pemerintahan, infrastruktur, pendidikan, ekonomi, kemiskinan, dan sosial masyarakat selalu menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan para kepala daerah. Dibutuhkan sosok pemimpin bertangan dingin yang dapat mengubah potensi daerah menjadi sumber daya dan kekuatan bersama untuk membangun daerah dan menyejahterahkan masyarakat.

Kepala daerah yang baru dilantik selalu dihadapkan pada realita besarnya ekspektasi masyarakat dalam pemenuhan janji politik saat kampanye pemilu. Maka itu, sudah sepatutnya kepala daerah senantiasa menjadi pemimpin yang mengayomi dan menjadi pelayan bagi masyarakat. Implementasi terhadap visi-misi dan pembuktian janji-janji saat kampanye menjadi tolok ukur masyarakat dalam menilai kemampuan dan kapasitas kinerja para kepala daerah.

Hal yang wajar ketika dalam pelantikan Bupati Winarti dan Wakil Bupati Tulangbawang Hendriwansyah, Senin (18/12), Gubernur Lampung berpesan dan menekankan tugas utama pasangan kepala daerah adalah meningkatkan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang tentunya disesuaikan dengan kondisi dan ciri khas setiap daerah dan tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal. Pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan menjadi prioritas utama yang perlu dilaksanakan para kepala daerah yang baru dilantik dengan tujuan mengatasi ketimpangan sosial.

Sikap mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongannya harus menjadi pembuktian nyata, bukan sebagai jargon kampanye. Maka, kepala daerah seyogianya adalah milik semua rakyat yang pengabdiannya diperuntukkan kesejahteraan masyarakat.

Merakyat dan Melayani 
Sejatinya, seorang pemimpin dapat menerapkan pola kepemimpinan merakyat. Pemimpin sedianya menjadi pelayan masyarakat, bukan justru ingin dilayani. Masyarakat menghendaki pemimpin yang dekat dengan rakyatnya. Tepat kiranya menjadikan ajaran Ki Hajar Dewantara dalam menjalankan prinsip dasar kepemimpinan yang dapat dicontoh dan diterapkan para kepala daerah.

Ajaran tersebut meliputi tiga hal. Pertama, Ing Ngarso Sung Tulodo. Pemimpin sejatinya dapat memberikan teladan baik bagi masyarakat, antara ucapan dan tindakannya mesti sejalan. Keteladanan pemimpin inilah yang menjadi modal dalam pembangunan sumber daya manusia. Pemimpin yang hanya pandai bicara dan sedikit kerja acap kurang dihargai masyarakat.

Kedua, Ing Madyo Mbangun Karso. Dalam memimpin masyarakat, pemimpin dituntut dapat membangun dan menciptakan inovasi dan ide solutif. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut sebagai leader, tetapi juga sebagai inovator dan motor bawahannya.

Ketiga, Tut Wuri Handayani. Makna ini memberikan falsafah bahwa seorang pemimpin harus mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan ikut mengawasi jalannya pemerintahan dapat mewujudkan pemerintahan yang baik (good government) dan pemerintahan yang bersih (clean government) dari praktik dan tindakan KKN. Secara keseluruhan, semboyan Ki Hajar Dewantara tersebut menanamkan pentingnya kepemimpinan yang saling bersinergi antara pemimpin dan masyarakatnya.

Menjadi seorang pemimpin sesungguhnya tak cukup hanya dengan memainkan retorika, tetapi perlu dibuktikan dengan kerja. Seorang pemimpin bukan sekadar penyembuh bagi penyakit yang ada, melainkan harus mampu mencegah penyebab munculnya penyakit tersebut. Pemimpin yang merakyat akan lahir dari sosok yang senantiasa bekerja dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan amanah yang diberikan rakyat.
Pasca era-Reformasi 1998, rakyat sudah semakin cerdas dalam berpolitik. Masyarakat dapat menilai baik-buruknya kinerja dari pasangan kepala daerah. Ada hasil atau tidak selama kepemimpinannya, maka masyarakat mengharapkan kehadiran para kepala daerah yang merakyat dan senantiasa hadir di tengah-tengah rakyatnya.

Kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat juga akan membantu kepala daerah untuk mengetahui persoalan sebenarnya yang dialami rakyatnya untuk kemudian dicarikan solusi. Para founding father bangsa ini jauh-jauh hari telah mencetuskan tentang konsepsi pemerintahan kerakyatan sebagaimana yang dituangkan Bung Karno dalam konsep sosio-demokrasi atau Bung Hatta dengan demokrasi kerakyatannya. Konsep ini memiliki kecenderungan yang sama, yakni menempatkan posisi rakyat sebagai objek pembangunan yang perlu dilayani.

Karakter Pemimpin

Karakteristik pemimpin yang melayani (servant leader), disebutkan Spears (1994), di antaranya memiliki karakter menjadi pendengar dan memiliki rasa empati dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Masyarakat mendambakan para pemimpin kepala daerah yang mau mendengar aspirasi rakyat serta peduli dan berempati terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.

Di sinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima rakyat yang dipimpinnya. Saya memiliki keyakinan kepala daerah yang memimpin dengan kepemimpinan merakyat dan melayani sepenuh hati akan mendapat tempat khusus di hati masyarakat. Bukan tidak mungkin, pada masa mendatang masyarakat akan kembali memilihnya untuk menjadi pemimpin.

Dengan hadirnya pemimpin baru, masyarakat tentu berharap banyak akan adanya perubahan dalam pembangunan di daerah. Tentunya, diperlukan sinergi antara pemimpin, stakeholder, dan partisipasi masyarakat untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih banyak dalam persoalan-persoalan birokrasi pemerintahan, infrastruktur, ekonomi, pendidikan, kemiskinan, keamanan, dan aspek sosial yang perlu diselesaikan bersama.
Pemimpin baru perlu melibatkan semua aspek dan potensi yang ada untuk membangun daerahnya. Perguruan tinggi, pondok pesantren, LSM, dan ormas lainnya perlu dirangkul dan dijadikan partner dalam mengimplementasikan visi-misi dan janji-janji kampanye. Akhirnya, selamat bekerja, pemimpin baru. Semoga amanah. Kita berharap kepada pemimpin baru dapat memberikan harapan baru bagi masyarakat. Harapan untuk bangkit bersatu padu dalam membangun daerah untuk terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Semoga!