Mengendus Dana Bansos

BANTUAN sosial (bansos) dalam anggaran pendapatan belanja suatu daerah memiliki semangat teramat mulia. Anggaran tersebut dimaksudkan untuk melindungi warga, kelompok, masyarakat dari risiko sosial.

Namun, pada praktiknya, banyak terjadi pelanggaran pada penggunaan bansos. Tujuan mulia anggaran bansos jamak disimpangkan yang kemudian berujung pada tindak pidana korupsi. Dana bansos menjadi lahan subur perilaku korup.

Kementerian Dalam Negeri mencatat 343 kepala daerah beperkara hukum, baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah, termasuk dana bansos.

Kasus korupsi bansos di Lampung pun sudah menyeret sejumlah pejabat. Sebut saja Herman Hazboellah (56), mantan kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Lampung Tengah, yang divonis hukuman 5 tahun 6 bulan penjara dalam kasus bansos Lamteng.

Ada lagi PNS Pemprov Lampung, Desiyanti, yang dihukum 1 tahun akibat kasus bansos 2009. Di Bandar Lampung, bansos dana kematian menjerat Kepala Dinas Sosial Akuan Efendi, Bendahara Dinsos Tineke, dan tenaga kerja sukarela Dinsos M Sakum.

Oleh karena itu, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Lampung yang menyatakan dana bansos sebesar Rp60,3 miliar di Bandar Lampung tahun anggaran 2015 bermasalah, patut mendapat perhatian serius. Aparat penegak hukum patut mengendus bau busuk dari temuan tersebut.
Aparat penegak hukum seharusnya gegas memanggil pihak BPK terkait laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang telah dilakukan. Kejati juga bisa melakukan penyelidikan jika tenggat yang diberikan kepada Pemkot Bandar Lampung tidak ditindaklanjuti.

Jangan sampai publik menilai aparat penegak hukum acuh atas dugaan penyimpangan dana bansos. Bansos adalah anggaran publik yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Adanya tendensi atau indikasi penyimpangannya harus dianggap serius.

DPRD selaku pihak yang memiliki fungsi pengawasan anggaran pun mengakui temuan BPK tersebut. Komisi IV DPRD Bandar Lampung menyebut bahwa dalam laporan hasil pemeriksaan BPK tidak tertulis penerima dana bansos dan hibah Rp60 miliar lebih.

Sudah seharusnya kejaksaan melakukan penyelidikan terkait temuan BPK tersebut dan memastikan ada tidaknya bau busuk dari penggunaan bansos di Bandar Lampung. Bahkan, kejaksaan dapat berinisiatif tanpa perlu menunggu adanya laporan.

Tegas kita katakan, kasus bansos bukanlah delik aduan. Publik menunggu langkah lanjutan kejaksaan terkait laporan BPK ini. Jangan sampai institusi penegak hukum masuk angin dan menganggap LHP BPK sebagai tumpukan dokumen tanpa arti. n

Sumber : https://goo.gl/Zr4smy

Previous
Next Post »
0 Komentar